Another summer day has come
and gone away
In Paris and Rhome, but I
wanna go home…
Sudah dua musim aku menetap di
negeri orang, mengejar impian yang mungkin adalah impian semua orang. Belajar
tanpa sepeser pun rupiah yang aku keluarkan. Aku masih teringat air matamu
mengalir deras tanpa suara. Kau bersimpuh di daun pintu, melambai dengan lemas,
dan mengucap “Selamat jalan”. Anehnya kau mengizinkan diriku pergi, padahal
acara pernikahan kita telah dipersiapkan. Undangan telah disebar, gedung telah
menanti di waiting list, baju, dan semuanya. Anehnya juga, kau tetap
setia menantiku pulang. Saat itu aku sadar bahwa cintamu lebih besar dari cintaku.
Maafkan aku, Nur, aku
terlampau egois. Aku telah tega menduakan cintamu dengan kesempatan ini,
kesempatan yang tak mungkin datang dua kali. Senyummu, Nur, yang selalu
mengiringi langkahku saat terakhir kita terhubung lewat skype. Kau
memintaku untuk menunjukkan menara yang masyhur itu. Aku berlari di tengah keramaian
malam, telanjang kaki dari hotel Le Hauts de Passy demi tawamu yang aku
rampas. Kau sangat ingin sekali menyaksikan pertunjukan cahaya warna-warni itu,
peringatan 130 tahun usianya. Riuh teriak pengunjung mengundang air matamu yang
berlinang untuk jatuh di pipi merahmu. Aku tahu, Nur, kau sangat ingin
berkunjung ke sini, menjagaku dan tidur bersamaku di bulan madu. Aku telah
dahulu datang di kota impianmu tanpamu, padahal kita berencana berdua.
Tentu di sini sangat ramai.
Turis dari berbagai negara rela mengeluarkan uang yang tak sedikit demi
mengabadikan cinta mereka. Mungkin kelak kita akan terbang pada saat musim
dingin karena banyak penerbangan yang menawarkan harga promo menjelang natal.
Di musim semi, tepatnya di Katedral Notre Dame, bunga sakura bermekaran.
Pada saat musim panas banyak para pasangan yang berkunjung ke sini. Mereka
dengan romantisnya bergandeng, menyaksikan bioskop terbuka di Parc de la
Villette, taman yang indah di Paris. Di musim gugur, Sungai Seine tampak
indah dari sela-sela pohon yang tinggal rantingnya. Aku sangat cemburu dengan
keromantisan mereka. Aku sangat ingin kita juga bisa mengambil bagian dari
keromantisan itu. Dalam keramaian ini, entah, aku selalu merasa sepi.
Kau setia menjaga cintaku yang
jauh di sana dan aku malu. Aku malu pada menara ini yang lebih tinggi, yang lebih
berat, dan yang lebih kokoh menapak dari rasaku. Aku berjanji akan segera
pulang dan membawamu kemari setelah mengucap ikrar di depan penghulu. Aku akan
mengajakmu berjalan mengelilingi setiap sudut-sudut kota agar reda rasa
kuriositasmu. Mengajakmu menikmati Ratatouille yang kau sangat penasaran
ketika melihat filmnya. Berjalan menikmati senja di tepi Sungai Seine,
menyewa kapal, midnight di tepi Sungai Seine, mengabadikan foto
kita di sana, serta masih banyak lagi kejutan yang ingin aku berikan kepadamu
sebagai penebus keegoisanku.
“Oh ya? Benarkah?”
“Tentu! Kali ini aku tidak
bermain-main dengan janjiku.”
Luapkanlah semua kebahagiaan
yang kau coba tutupi itu karena aku sangat merindukan tawamu.
“Tapi kau di sini bukan hanya berbulan
madu denganku. Kau juga akan menemaniku menggarap thesis yang masih
mangkrak. Membantuku dalam penelitian, membuatkanku kopi, mencuci bajuku,
membangunkanku yang sering terjaga di tengah malam, dan semuanya.”
“Ha! Ha! Ha!” kau malah
tertawa.
“Sungguh ini bukan lelucon,
Nur. Kau sangat pandai dalam bidang tulis menulis, kesenian, budaya, dan
sejarah. Kau sering menjadi dosen tamu di berbagai perguruan tinggi, kan? Kau memang
sangat pandai.”
“Jadi kau tidak mampu
menyelesaikannya sendiri? Apakah mereka tidak rugi memberikan beasiswa kepada
orang sepertimu? Ha! Ha! Ha!”
“Mereka tidak rugi, mereka telah
memilih orang yang tepat—aku! Sebentar lagi aku akan meraih gelar masterku di Creative
Writing dan mengembangkannya di sana—tanah airku. Kau bercita-cita ingin
mempunyai rumah baca untuk orang-orang yang tidak mampu dan penyandang
disabilitas, kan? Juga sekolah seni dan kelas menulis untuk mereka. Kita akan
segera mewujudkannya, Nur. Ya, kita berdua.”
“Baiklah. Tapi ingat, kau
harus menepati janjimu!”
“Pasti!”
Raut kebahagiaan terpancar
dari kita berdua. Kukecup layar gawai yang di sana terpampang fotomu ketika ku tutup
basa-basi kita lewat skype. Aku yang tidak sabaran ingin segera
menemuimu di sana, tak kuasa menahan dan pada akhirnya jatuh dua tetes air mata
sebagai penghargaan atas caramu memupuk dan mempertahankan cinta.
***
Semua yang akan kubawa ke
tanah air sudah aku persiapkan jauh-jauh hari. Semuanya baik-baik saja, hingga
pada pagi itu aku membaca kabar bahwa pesawat yang akan membawaku terbang dicancel.
Setelah beberapa researches ternyata Aéroport de Paris-Orly
ditutup sementara karena pandemi virus yang semakin meluas dan menyebar di
seluruh Prancis. Mengapa selalu saja ada aral yang melintang di depan kita?
Padahal rindu ini sebentar lagi akan berlabuh pada tuannya. Bukan hanya
bandara, tetapi juga menara Eiffel dan museum Louvre juga ditutup
sementara.
[Tak apalah. Masih ada esok
dan lusa] tulismu melalui pesan whatsapp. Emotikon senyum yang kau
sisipkan itu aku tahu, sebenarnya adalah senyum kekecewaan.
[Maafkan aku sekali lagi yang selalu
membuatmu menunggu]
[Pintu maafku masih dan akan
terus terbuka untukmu]
[Apakah kau yakin akan tetap
menungguku?]
[Mengapa tidak? Dari arah terbitnya
fajar juga arah tenggelamnya, tak kujumpai lelaki lain seperti dirimu. Tenang
saja, namamu selalu ada di sepertiga malamku dan aku harap kau juga melakukan
hal yang sama. Biarlah aku dikata perawan tua, gadis tak laku atau semacamnya
supaya mereka senang tersenyum simpul melihatku merana. Nyatanya tidak, kan?
Kau akan segera pulang dan membawaku ke sana. Kau bukan ilusi dan kau ada
untukku]
[Bagaimana jika nanti aku
pulang membawa Corona, apakah kau masih tetap mencintaiku?]
[Bukankah itu bagus? Kita akan
diisolasi bersama, berdua hanya kau dan aku. Aku akan merengkuhmu dan aku akan menjadi
vaksin untukmu. Jika aku gagal, kita akan mati bersama-sama. Ah, sudahlah! Kita
memang pandai mengandai-andai. Segeralah selesaikan thesismu tanpa
diriku dan ketika pandemi ini berakhir, segeralah jemput aku!]
[Ayay, Captain!]
Setelah jauh darimu, kini aku
juga jauh dari keramaian. Aku gagal pulang dan benar-benar tersiksa. Aku tidak
bisa keluar, mengisolasi diri bersama sepi. Menara yang biasa kau pinta aku untuk
memotretnya, kini hanya bisa aku ambil dari balik jendela. Aku tidak suka
bersunyi-sunyi di sini. Beruntung lagu Home yang dipopulerkan oleh
Michael Buble bisa menemani rasa rinduku kepadamu, juga rindu kepada kampung
halaman. Oh Covid! Let me go home. I’m Just too far from where you are, Darling.
I wanna come home!
Aku mulai membenci dunia lata
ini. Anganku dan juga anganmu karam bersama dalam khayal, dalam angan-angan. Aku
di sini dan kau di sana layaknya pendeta yang bertapa, bergeming menanti keajaiban
entah sampai kapan. Namun, di tengah penantian selalu terselip harap yang
terhubung lewat telepati dan rasa yang terikat dalam dua hati. Aku tak perlu
khawatir tentang kesetiaanmu yang tak perlu dipertanyakan. Aku cukupkan untaian
aksara yang sederhana ini untukmu, Nur.
Salam dari Paris untuk cinta
suciku yang jauh di sana. I’m coming back home.
Tanggamus, 2020
Biodata Penulis :
*Firman
Fadilah, mahasiswa pencinta sajak. Saat ini bertempat tinggal di Pedukuhan Sinar Pabean, Desa Sumberejo, Ke. Sumberejo,
Kab. Tanggamus, Lampung. 35374.
IG : firmanfadilah_00
Twitter : @FirmanF00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar