Salam Dari Paris oleh Firman Fadilah - KBM Soloraya

Breaking

Hadir Untuk Menginpirasi Anda

Salam Dari Paris oleh Firman Fadilah



Another summer day has come and gone away
In Paris and Rhome, but I wanna go home…
Sudah dua musim aku menetap di negeri orang, mengejar impian yang mungkin adalah impian semua orang. Belajar tanpa sepeser pun rupiah yang aku keluarkan. Aku masih teringat air matamu mengalir deras tanpa suara. Kau bersimpuh di daun pintu, melambai dengan lemas, dan mengucap “Selamat jalan”. Anehnya kau mengizinkan diriku pergi, padahal acara pernikahan kita telah dipersiapkan. Undangan telah disebar, gedung telah menanti di waiting list, baju, dan semuanya. Anehnya juga, kau tetap setia menantiku pulang. Saat itu aku sadar bahwa cintamu lebih besar dari cintaku.
Maafkan aku, Nur, aku terlampau egois. Aku telah tega menduakan cintamu dengan kesempatan ini, kesempatan yang tak mungkin datang dua kali. Senyummu, Nur, yang selalu mengiringi langkahku saat terakhir kita terhubung lewat skype. Kau memintaku untuk menunjukkan menara yang masyhur itu. Aku berlari di tengah keramaian malam, telanjang kaki dari hotel Le Hauts de Passy demi tawamu yang aku rampas. Kau sangat ingin sekali menyaksikan pertunjukan cahaya warna-warni itu, peringatan 130 tahun usianya. Riuh teriak pengunjung mengundang air matamu yang berlinang untuk jatuh di pipi merahmu. Aku tahu, Nur, kau sangat ingin berkunjung ke sini, menjagaku dan tidur bersamaku di bulan madu. Aku telah dahulu datang di kota impianmu tanpamu, padahal kita berencana berdua.
Tentu di sini sangat ramai. Turis dari berbagai negara rela mengeluarkan uang yang tak sedikit demi mengabadikan cinta mereka. Mungkin kelak kita akan terbang pada saat musim dingin karena banyak penerbangan yang menawarkan harga promo menjelang natal. Di musim semi, tepatnya di Katedral Notre Dame, bunga sakura bermekaran. Pada saat musim panas banyak para pasangan yang berkunjung ke sini. Mereka dengan romantisnya bergandeng, menyaksikan bioskop terbuka di Parc de la Villette, taman yang indah di Paris. Di musim gugur, Sungai Seine tampak indah dari sela-sela pohon yang tinggal rantingnya. Aku sangat cemburu dengan keromantisan mereka. Aku sangat ingin kita juga bisa mengambil bagian dari keromantisan itu. Dalam keramaian ini, entah, aku selalu merasa sepi.
Kau setia menjaga cintaku yang jauh di sana dan aku malu. Aku malu pada menara ini yang lebih tinggi, yang lebih berat, dan yang lebih kokoh menapak dari rasaku. Aku berjanji akan segera pulang dan membawamu kemari setelah mengucap ikrar di depan penghulu. Aku akan mengajakmu berjalan mengelilingi setiap sudut-sudut kota agar reda rasa kuriositasmu. Mengajakmu menikmati Ratatouille yang kau sangat penasaran ketika melihat filmnya. Berjalan menikmati senja di tepi Sungai Seine, menyewa kapal, midnight di tepi Sungai Seine, mengabadikan foto kita di sana, serta masih banyak lagi kejutan yang ingin aku berikan kepadamu sebagai penebus keegoisanku.
“Oh ya? Benarkah?”
“Tentu! Kali ini aku tidak bermain-main dengan janjiku.”
Luapkanlah semua kebahagiaan yang kau coba tutupi itu karena aku sangat merindukan tawamu.
“Tapi kau di sini bukan hanya berbulan madu denganku. Kau juga akan menemaniku menggarap thesis yang masih mangkrak. Membantuku dalam penelitian, membuatkanku kopi, mencuci bajuku, membangunkanku yang sering terjaga di tengah malam, dan semuanya.”
“Ha! Ha! Ha!” kau malah tertawa.
“Sungguh ini bukan lelucon, Nur. Kau sangat pandai dalam bidang tulis menulis, kesenian, budaya, dan sejarah. Kau sering menjadi dosen tamu di berbagai perguruan tinggi, kan? Kau memang sangat pandai.”
“Jadi kau tidak mampu menyelesaikannya sendiri? Apakah mereka tidak rugi memberikan beasiswa kepada orang sepertimu? Ha! Ha! Ha!”
“Mereka tidak rugi, mereka telah memilih orang yang tepat—aku! Sebentar lagi aku akan meraih gelar masterku di Creative Writing dan mengembangkannya di sana—tanah airku. Kau bercita-cita ingin mempunyai rumah baca untuk orang-orang yang tidak mampu dan penyandang disabilitas, kan? Juga sekolah seni dan kelas menulis untuk mereka. Kita akan segera mewujudkannya, Nur. Ya, kita berdua.”
“Baiklah. Tapi ingat, kau harus menepati janjimu!”
“Pasti!”
Raut kebahagiaan terpancar dari kita berdua. Kukecup layar gawai yang di sana terpampang fotomu ketika ku tutup basa-basi kita lewat skype. Aku yang tidak sabaran ingin segera menemuimu di sana, tak kuasa menahan dan pada akhirnya jatuh dua tetes air mata sebagai penghargaan atas caramu memupuk dan mempertahankan cinta.
***


Semua yang akan kubawa ke tanah air sudah aku persiapkan jauh-jauh hari. Semuanya baik-baik saja, hingga pada pagi itu aku membaca kabar bahwa pesawat yang akan membawaku terbang dicancel. Setelah beberapa researches ternyata Aéroport de Paris-Orly ditutup sementara karena pandemi virus yang semakin meluas dan menyebar di seluruh Prancis. Mengapa selalu saja ada aral yang melintang di depan kita? Padahal rindu ini sebentar lagi akan berlabuh pada tuannya. Bukan hanya bandara, tetapi juga menara Eiffel dan museum Louvre juga ditutup sementara.
[Tak apalah. Masih ada esok dan lusa] tulismu melalui pesan whatsapp. Emotikon senyum yang kau sisipkan itu aku tahu, sebenarnya adalah senyum kekecewaan.
[Maafkan aku sekali lagi yang selalu membuatmu menunggu]
[Pintu maafku masih dan akan terus terbuka untukmu]
[Apakah kau yakin akan tetap menungguku?]
[Mengapa tidak? Dari arah terbitnya fajar juga arah tenggelamnya, tak kujumpai lelaki lain seperti dirimu. Tenang saja, namamu selalu ada di sepertiga malamku dan aku harap kau juga melakukan hal yang sama. Biarlah aku dikata perawan tua, gadis tak laku atau semacamnya supaya mereka senang tersenyum simpul melihatku merana. Nyatanya tidak, kan? Kau akan segera pulang dan membawaku ke sana. Kau bukan ilusi dan kau ada untukku]
[Bagaimana jika nanti aku pulang membawa Corona, apakah kau masih tetap mencintaiku?]
[Bukankah itu bagus? Kita akan diisolasi bersama, berdua hanya kau dan aku. Aku akan merengkuhmu dan aku akan menjadi vaksin untukmu. Jika aku gagal, kita akan mati bersama-sama. Ah, sudahlah! Kita memang pandai mengandai-andai. Segeralah selesaikan thesismu tanpa diriku dan ketika pandemi ini berakhir, segeralah jemput aku!]
[Ayay, Captain!]
Setelah jauh darimu, kini aku juga jauh dari keramaian. Aku gagal pulang dan benar-benar tersiksa. Aku tidak bisa keluar, mengisolasi diri bersama sepi. Menara yang biasa kau pinta aku untuk memotretnya, kini hanya bisa aku ambil dari balik jendela. Aku tidak suka bersunyi-sunyi di sini. Beruntung lagu Home yang dipopulerkan oleh Michael Buble bisa menemani rasa rinduku kepadamu, juga rindu kepada kampung halaman. Oh Covid! Let me go home. I’m Just too far from where you are, Darling. I wanna come home!
Aku mulai membenci dunia lata ini. Anganku dan juga anganmu karam bersama dalam khayal, dalam angan-angan. Aku di sini dan kau di sana layaknya pendeta yang bertapa, bergeming menanti keajaiban entah sampai kapan. Namun, di tengah penantian selalu terselip harap yang terhubung lewat telepati dan rasa yang terikat dalam dua hati. Aku tak perlu khawatir tentang kesetiaanmu yang tak perlu dipertanyakan. Aku cukupkan untaian aksara yang sederhana ini untukmu, Nur.
Salam dari Paris untuk cinta suciku yang jauh di sana. I’m coming back home.

Tanggamus, 2020


Biodata Penulis :
*Firman Fadilah, mahasiswa pencinta sajak.  Saat ini bertempat tinggal di  Pedukuhan Sinar Pabean, Desa Sumberejo, Ke. Sumberejo, Kab. Tanggamus, Lampung. 35374.
IG : firmanfadilah_00
Twitter : @FirmanF00







Tidak ada komentar:

Posting Komentar