TARIAN
SUNGAI
Karya: Muthiyyatunnisa’
Setidaknya
aku masih menyimpan tabah
di
antara biji-biji keladi yang membasah
sebab
tergenang sungai-sungai resah
hingga
liang-liang tanah menjadi gundah.
Kau
yang kusebut dalam harap
menyuarakan
damai dari bibir para petani keladi
sekadar
agar ia mampu bertanam tanpa ratap
atau
menjaga agar gerai rambut pertiwi tak
memerah kembali
memerah kembali
Kau
yang kusebut imam
menuntun
kami dalam pekatnya kelam
sungguh,
lihatlah palawija kini enggan berkembang
di
tanah merah yang memendam keadilan timpang.
Kau
sang penghulu damai
bukankah
nobel perdamaianmu di atas segalanya?
Lalu
kemana arah pandangmu saat hujan memerah tak jua reda?
Menumbuhkan
napas genosida, atas nama ilusi suci.
itu
bukan mimpi selepas senja,
rasakan
gerah napas anyir memburu asa
meminta
bilik-bilik damai, sekedar merebahkan jiwa yang lelah
lalu
kembali tersisih dari pias hujan resah.
Bisakah
kutitip harap padamu wahai penghulu damai?
Di
sini, ada setitik warna pelangi
bisakah
kutitip padamu, apa yang kusebut empati?
Untuk
sungai yang masih mengalir sunyi.
Untuk
tanah Rakhine, Al-Aqsa dan tempat-tempat penuh lumpur nanah.
Kota
Apem, 17 Oktober 2017.
HIKAYAT RERUMPUTAN
Karya: Muthiyyatunnisa’
Rerumputan di tepi telaga
mengeluh gaduh
Tentang basah yang menyepuh
dalam rapuh
Aroma apa yang kau tinggalkan
pada arus air?
Hingga memaksa rangka kami
mengering dipeluk nadir.
Kami semai anak-anak di bibir
tanggul
Untuk mengikat bertumpuk-tumpuk
mimpi di pagi hari, lalu memeramnya di malam hari
Agar saat kaki-kaki anak gembala
rebah, ia ada dipelukan damai
Namun paruh paruh serakah
menanggalkan hatimu dan ingatanmu berubah tumpul.
Sepotong demi sepotong tubuh
kami tanggal
Maafkan mimpi yang tak lagi kami
peram di malam hari
Ketahuilah, luka tak membunuh
kami
Namun saat kunang-kunang risau
mencari huma, di sanalah jiwa kami mulai mati.
Kota Apem, 2018.
Karya: Muthiyyatunnisa’
Sepagi ini Lek, aku menatap muara muara bengawan yang tanpa arus
di sini, ingin kutenggelamkan hati bersama gerimis
lalu memuntahkan beliung dalam dada yang mulai berisik.
Sedini ini, Lek
Fajar berubah senja
lalu jiwaku serupa bengawan yang berkunjung ke sudut kota
dan puing puing yang kusapa ialah belulang retak
Kota Apem, 7 November 2017.
NEGERI
DI ATAS AWAN
Karya:
Muthiyyatunnisa’
Biar
kutemukan sendiri segelintir puisi di antara selasar
awan
menumpuk gumpalan serupa kapas di pucuk permadani
lalu menyulamnya di pelipis nadi
menguliti ujung ujung hari
Negeri di atas awan,
menata kapas di ujung netra lalu berlari menuju nadi
menaungi wangi kopi yang bermukim di penciuman
sekeping jiwa di kaki cahaya memunguti angan.
Lalu aksara-
Berlompatan dari ujung mimpi para petani kopi,
yang siap memetiki buah-buah asa di tepi huma
remahan robusta dan arabika terseduh di cangkir para
pemikir
mencipta dzikir dan ukir.
Biar kusisiri segelintir puisi, diantara tumpukan awan.
Kota Apem,
2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar