Anggap Saja Hujan
Adalah Ibu
Oleh: Agus Yulians
Aku ingin melihat hujan. Aku
ingin menari ketika hujan turun. Sudihkah Tuhan menurunkan hujan hari ini
untukku! Batinku menggerutu berharap
hujan akan turun dan aku bisa menari di bawah guyuran air hujan.
Kalau
kalian tanya, kenapa aku suka hujan? Entahlah, aku juga bingung untuk
menjawabnya. Namun, ketika hujan itu turun ada getaran halus tentang ingatan
akan masa lalu, tentang masa kecil.
Aku
teringat cerita dari Ayah tentang tarian hujan. Ayah
bilang bahwa Ibu adalah seorang penari. Dia suka menari di saat musim kemarau.
Kata Ayah saat itu aku masih kelas dua di Sekolah Dasar. Ibu menciptakan sebuah tarian memanggil
hujan. Tarian itu katanya di dapatkannya ketika belajar di Sanggar. Menurut
cerita Ayah persiapan yang harus dilakukan sangatlah rumit. Ibu harus
mengenakan sebuah mahkota yang dihiasi setangkai kecil daun beringin, setangkai
padi dan bunga sanggar sejenis tanaman perdu.
Tiga hari sebelum hari pelaksanaan para penari tidak diperkenankan untuk
memakan makanan yang diolah hanya boleh memakan buah-buahan.
Ibu
menari mengikuti irama, mata terpejam, berputar-putar. Semua orang yang melihat
khusuk dalam doa-doa yang mereka panjatkan. Hujan tidak juga turun. Ibu beserta
teman-temannya masih menari. Ayah bilang bahwa Ibu tidak akan pernah berhenti
menari sebelum hujannya turun. Ibu begitu gigih, pantang menyerah, terus
menari hingga hujan turun.
Namun
hidup ini bukanlah sebuah ilustrasi yang sederhana, hidup ini sangat kompleks
dengan beragam variasi masalah dan pilihan.
Hal inilah yang belum di pahami oleh ibu. Akhirnya, hujan pun tidak
turun. Ibu tetap bersikukuh menari dan menari. Tubuhnya terus berputar dan
raganya pun ikut melayang. Ibu pun tumbang di pelataran Punden di
tempatnya menari. Melihat kejadian itu Ayah sangat terpukul sekali. Hingga
akhirnya aku tidak diijinkan untuk ikut les menari di Sanggar dekat
rumah.
Aku
hanya melamun dan membayangkan andaikan ibu tidak bersikukuh untuk menari pasti saat ini dia masih bersama kami.
Menemani hari-hariku dan mengajariku menari.
***
Aku
bersama teman-teman menunggu di pelataran. Berharap hujan akan segera mengguyur
tanah kami yang sudah kering. Setitik harapan muncul kemudian, hembusan angin
begitu kencang, langit mulai berwarna kelabu pekat dan gelap pertanda hujan akan turun. Aku melihat tanah basah
sedikit demi sedikit. Aku lari ke halaman depan rumah. Berlari-lari kecil, berputar-putar,
mengucapkan selamat datang hujan.
“Siramilah
tubuh ini, siramilah tanah ini,” kataku. Angin semakin kencang. Suara petir pun
bergemuruh dari langit-langit. Aku bahagia hujan turun di desaku. Kebahagiaan
ini diikuti oleh teman-temanku. Mereka berlarian menyusulku di halaman.
Kami
pun berdansa sambil menari berputar-putar menikmati hujan turun. Sebuah keceriaan
kami yang begitu bergembiranya bermain di bawah guyuran hujan, mandi lumpur,
berlari ke sana-kemari. Hujan dulu dengan sekarang masih sama, masih memberikan
aroma tanah yang terkadang aku rindukan.
Sekelebat
terbayang wajah ibu. Diam-diam aku berkhayal. Aku bersama Ibu menari
dibawah guyuran air hujan. Bergerak mengikuti gerakan badan ibu sambil memejamkan mata. Tanganku di pegang lalu
diajaknya berputar-putar. Kemudian aku memeluk erat badan ibu yang masih terasa
hangat.
Suara
petir menyadarkan lamunanku. Ternyata ada rindu yang berserakan untuk ibu yang masih tersimpan di dalam hati
yang kemudian meluap begitu saja. Lagi-lagi
air mataku deras mengalir seiring hujan reda. Begitulah aku yang selalu
membayangkan ibu jika hujan turun.
Dimuat Kabar Madura edisi tanggal 29 juli 2019
Dimuat Kabar Madura edisi tanggal 29 juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar