SECARIK SURAT UNTUK PERTIWI
Tiwi,
indah liuk artistik tubuhmu
mampu memukau netraku
Vibrolis kehangatan kasihmu
mampu merajam laraku
Kau sentuh setiap inci yang
tumbuh di kulitku dengan tangan lembutmu
yang membuat seluruh peradaban
iri
seolah-olah kitalah yang
paling mujur dalam perhelatan ini
Tiwi,
rengkuh bentang tanganmu
melindungi khazanah perbendaharaan yang tak terkira
Sajak-sajak terlantun dari
simfoni semburat hijau-hijau katulistiwa
Tiwi,
malam itu aku teringat
Di bawah indurasmi aku
mendengar kabar sungkawa yang menyayat retislayaku
tanpa aku, kau dan juga kita
sadari; para pemujamu seketika bergelempangan di sudut-sudut kota
di rumah sakit, di jalan raya;
tanpa pertanda
Nafas sesak tersumpal oleh
virus-virus yang entah; kita tak menginginkannya
Aku, kau dan juga kita diteror
dalam keramaian
Lantas gemuruh isak tangis
menghujami seisi bumi
Aku merasakan sakitnya, Tiwi
Karena tubuhmu sejatinya
adalah tubuhku
Tiwi,
kini kau terkapar bak
ikan-ikan yang tersangkut kail kedurjanaan
Kau menanggung seluruh
sakitnya, Tiwi
atas kecerobohan tangan-tangan
yang telah mengeruk habis adiratnamu
Tiwi,
Tuhan telah meringkuk
karismamu
sebagai ganjaran atas petala
dosa; menembus cakrawala
Aku berduka, Tiwi
Tak akan pernah terulang kisah
duka ini
Akan segera kubawa senyummu
kembali
serta baskara untuk menyinari
garis katulistiwa ini
Tanggamus, 01 April 2020
JERITAN KAUM
PROLETARIAT
Rancangan telah
lama bersemayam di atas nirwana
Terangkai
sebegitu apiknya; berbaur dengan nebula rasi rasa
Sajak-sajak
lubuk terastu bernas Bermuda
Ekstensif
terhampar merata tanpa lakuna bak Samudera Hindia
Doa
dilayangkan, ikhtiar diimplementasikan
Namun sayang
seribu sayang angan tersekat oleh oknum berkedok bebantu
Menguras
kantong hingga kering kerontang tanpa pengejawantahan
Nasib oh
nasib
Beginikah
akhir pilu sekumpulan proletariat yang menghendaki metamorfosa?
Kejahiliahan
yang kami benci terjebak oleh depresi ekonomi tanpa budi
dan
dijadikanlah alat untuk bebunuh cita saudari
Terkekeh-kekehlah
mereka mencedok peluh kita dan juga angan yang kini memuar bersama debu
Kini
samudera terpentang tanpa gelombang
Tenang
bersama angan akan angin yang menghemapas layar terkembang
Sirnalah
semua bak jelaga hitam yang terkuras oleh ketamakan
Tanggamus, 04 April
2020
SEKOKOH LIDI
Aku selalu
mengimpikan hidup bagai lidi
jika satu
patah
maka seratus
gagah
Bersama dalam ikatan menyapu ketidakadilan,
kesedihan dan penderitaan di bumi pertiwi
Kita harus bangkit
walau cita-cita akan keadilan adalah muskil dan telah mengusang
berserak pada jalan-jalan dan bermuara pada madah sunyi
Terkadang kita menangis di tengah jerit yang menyeruak seisi angkasa
menganak sungai airmata menanti Dewi Themis menghukum para pendusta
Kita masih percaya akan sayap-sayap yang membentang
menggantungkan lima pilar yang mengejawantahkan masa depan
Tak akan pernah ada ketidakadilan yang terulang
selama kita tetap teguh bergandeng tangan
Angan kita masih hangat tertulis dibawah pendar arunita
luas dan selebar
bentangan katulistiwa
seputih dan semerah Sang Saka
Tanggamus,
19 Mar. 2020
NURANI BERKATA
Tak cukupkah mala itu, rudita itu, lara itu
Tangis yang menyeruak gugusan gemintang
Juga porak-poranda yang bertaut-taut; memenjarakan cita
Namun jiwa-jiwa dan hati bersekongkol untuk membisu
Acuh pada rintih yang gemerisik bak serangga malam
Berdentuman hingga menulikan nurani
Tunggu apa lagi?
Derita ini, porak-poranda ini, tangis ini
Belum cukup, kah?
Untuk sekadar menyayat empati hingga mengalir darah-darah
kasih
Kita terlena oleh waktu dan dipermainkannya
Hingga pada saatnya Tuhan menghentikannya
Dan kita hanya memohon pada tangis dan sesal
Tanggamus, 13 April 2020
TANGIS YANG
TAK BERPENGHARAPAN
Arunita
menyapa di ufuk timur semesta
Burung-burung
bernyanyi riang menyambut pagi
Setitik
embun yang jatuh menyapa kaki tanpa alas
Melangkah,
menjemput karunia
Jalan-jalan
di penuhi lumpur
Batu-batu
terlepas, menggelinding dari tempatnya
Jembatan
bergoyang, rapuh dan menjamur
Namun tiada
alasan untuk tetap diam dan tersungkur
Burung-burung
seolah mengejek
Manusia yang
angkara, angkuh dan tamak
Properti
yang di tumpuk dari balik kursi kekuasaan
Menghambat
kemajuan juga harapan
Lantas kita
bisa apa?
Menangis,
marah, sumpah serapah, mengolok-olok
Tidak, itu
tidak ada gunanya kawan
Tangis kita
tak berpengharapan
Marah kita
telah beku tak sudah
Jangankan
sumpah, suara kita saja tak di dengar
Memberontak?
Kita hanya akan dianggap makar
Kita hanya
bisa berdoa dan yakin bahwa nantinya cita kita akan indah merekah
Tanggamus, 11 April 2020
Firman
Fadilah, mahasiswa pecinta sajak. Karya-karyanya banyak dimuat dalam antologi
puisi. Salah satunya dalam antologi puisi Potret Kehidupan (2020).
Alamat: Pedukuhan Sinar Pabean, Desa Sumberejo, Ke.
Sumberejo, Kab. Tanggamus, Lampung. 35374.
E-mail: fadilahfirman651@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar