Sumber gambar :https://www.liputan6.com/
Kau bilang suka menawarkan rasa teh? Oh,
silakan saja jika itu maumu. Namun, sebuah pertemuan tak mungkin membuat
segelas minuman yang tawar menjadi manis seketika. Come on, be
realistislaah.
“Ctuk …,” satu jitakan manis mendarat
mulus di dahi, lagi.
“Sakit. Dasar!” reflek tangan meraba
bekas getokan manjanya.
Kau tahu apa balasan darinya? Oke, saya
beri tahu. Dia tertawa, datar. Sedatar kayu triplek.
Kali ini, tatapan itu sungguh hampa.
Retina itu terpaut pada sebuah sudut, tempat vas bunga plastik kesayangan ibu tegak
jumawa di ruang tamu. Satu detik, dua detik, tanpa reaksi. Hingga kini sudah masuk menit ke lima. Namun, tatap
itu tak beranjak. Aku kesal. Tentu saja, tak tahukah ia bahwa hari ini sangat
menjengkelkan? Ditambah sikap itu, rasanya lengkap sudah.
“Hei,” ekor mata itu mengintip ke
arahku.
Sekejap kemudian mata bulat itu mengedar
pandang ke segenap penjuru. Menelisik kusen-kusen jendela di samping kanan,
yang berjarak hanya dua buah kursi dari tempat ia bersandar itu dengan seksama.
Seolah dari pori-pori kayu bahan kusen tersebut hendak keluar makhluk berantena
di kepala, dengan seribu tentakel dan ekor sejumlah 12 buah, yang mirip Gumiho
saja. Belum selesai, kini pintu sejauh 2 meter dari batang hidungnya tak
ketinggalan jadi bahan observasi. Hingga pandangan terjatuh pada buffet manis
yang berdiri tepat satu meter dari kiri pintu utama, menempel di dinding
selatan ruangan.
Masih bisu, dan aku masih menimang diksi
mana yang hendak dilempar. Biasanya, menikmati hening sangat menyenangkan, tapi
tidak kali ini. Hampir saja tangan ini bergerak menarik paras purnama itu ke
hadapan. Namun jemari terlanjur kebas. Detak sang waktu nyaring terdengar,
bahkan desah bayu menyapa rongga-rongga udara di langit ruangan tertangkap
jelas di gendang telinga.
“Kau masih merajuk?” dia berkata tanpa
menoleh, kebiasaan. Menyebalkan!
Namun, menatap paras rembulan itu dari
samping sungguh menyenangkan. Rambutnya yang jatuh tergerai, agak acak-acakan.
Hidung itu, tapi bahkan memandang dari sudut ini tak membuat pipi bakpao itu
tampak tirus. Dan eh, kumis itu ….
“Kalo ditanya jawab, bukan bengong!” ujarnya
setelah mendapati kedipan mata berkat kaget terkena tiupan dari bibir delima
itu.
Reflek bibir ini mencebik, menyilangkan
lengan ke dada, memamerkan punggung lelahku pada makhluk sok manis yang pasang
gaya.
“Dia tak sengaja, tadi. Kau tak bilang
pada siapapun ‘kan?” lengan itu bertumpu manis pada bahu kursi.
“Aku tahu.” jawabku tak kalah datar dari
ekspresi awalnya.
“Lalu?” alis tebal itu sedikit terangkat
sebelah. Ekspresi menghakimi yang angkuh.
Lalu apa? Kau bayangkan saja, seharian
bolak-balik ke sana kemari, membereskan ini dan itu di cuaca yang teriknya
mirip tungku api. Setelah sebelumnya harus rela menghabiskan suara, demi mereka
yang kadang sedikit menggemaskan kala bertingkah. Malaikat-malaikat kecil yang
senang sekali merajut mimpi pada jarring laba-laba itu sedang berencana
memindahkan Himalaya ke laut Kaspia. Kau tahu, bahkan segalon penuh air hanya
akan menguap di ujung lidah saja.
Sore hari, masih tak lepas dari rajutan-rajutan
oktaf tinggi-rendah yang memenuhi gulungan karpet masjid. Entahlah, mimpi
apalagi yang para anak-anak surga itu kaitkan pada jarring laba-laba mereka. Padahal
gulungan pita suara pada kaset using ini hampir saja kusut. Berharap senja
segera tiba. Sudah sejak siang rasa dahaga menghinggapi raga. Hingga saat
menengok lemari pendingin itu, milikku tinggal gelas kosong yang kehilangan
dentingan. Lalu apa, hah? Kesal sekali, kalimat-kalimat itu hanya menguar dalam
bahasa bisu. Peram dalam bola mata sendu. Tatapan kecewa yang selalu ditangkap
baik olehnya.
“Tahu dari mana?” aku balik bertanya,
tetap memunggungi. “Dia melapor padamu? Anak itu, pengadu.”
Tawa meluncur mulus dari bibir manisnya.
“Sama sepertimu,” masih melanjutkan tawa, “Bawel, pengadu, cengeng, tapi …”
hampir saja jemari itu mendarat di kedua pipi yang kini entah bagaimana
rupanya.
“Jangan berani, ya!” tatapku garang.
“Ups … tak boleh, ya? Baiklah, jika
sekedar mecakar lenganmu, tak apa ‘kan?”
“Awas saja!” Sekotak tissue mendarat
mulus di wajahnya. Ia bersuara, dan aku, mengikuti alunan nada merdu itu tanpa
sadar.
Selalu seperti itu. Rima-rima yang
mengalun merdu dari lidahnya seolah mantra yang menyihir telinga. Masuk lewat
nadi, menelisik dalam hati. Seperti embun yang diam-diam turun dalam pekat
fajar. Membangunkan kuncup-kuncup layu. Hingga saat penguasa hari menampakkan
keanggunan, ia hilang tanpa pamit.
“Lain
kali saat cuaca panas tak perlu nyunnah.” masih dengan tatap yang sama. Manik
sendu sehitam surai yang melebat menutup sekujur badan hingga ekor.
“He?” bola mata ini terbuka lebar.
“Iya. Kehilangan es teh saja sudah
segitu marahnya. Tak guna puasamu!” kali ini, waktu sedikit melipat jarak di
persimpangan sudut mata.
“Aku tak marah.” tentu saja, perlu ada
mosi pembelaan diri.
“Tapi sebal, mangkel. Sama aja.”
Terdiam, waktu telah lelah menghitungi
diri. Menunggu warta sedikit menggeliat dari lidah-lidah kelu. Tentu aku paham,
bukan hal bijak bersikap macam bayi kehilangan mainan. Tapi sungguh, hujan tadi
tak turun sebab itu. Ada hal lain yang kusadari, dari penjarahan senja tadi.
“Minta maaf padanya.”
Hei, mengapa dia jadi hobi sekali
mengaturku? “Kalau tak mau?” elakku.
“Ck … ck …, kakak yang buruk. Jika
begitu, mana pantas jadi —“ belum habis kalimat, lidah ini telah memotong
tajam.
“Apa?” bentakku sambil melotot.
“Ehm, bu-bukan apa-apa …,” dia salah
tingkah.
Hening kembali mengudara. Merajam
masing-masing rasa yang masih meraba-raba dalam gamang.
“Kuberi tahu kau, Allah telah menimpakan
pedihnya pengharapan pada sesuatu selain-Nya padamu. Lewat segelas es teh yang
hilang asa, juga rasa yang tak mampu hinggap mengobati dahaga. Itu adalah
pelajaran kecil buatmu. Apapun itu, jangan nomor duakan Dia.”
“Bukankah bagus, Dia hanya mengambil
segelas es dari dirimu? Bagaimana jika sesuatu yang lebih besar seperti dulu?
Kau kehilangan—“ kalimatnya habis. Demi melihat mendung bertengger di manikku.
Ada denyar yang timbul tenggelam memaku
ingatan. Aku paham, sebab itulah gerimis di senja tadi menghampiri. Hal yang
menyadarkan sebuah kehilangan dan pengharapan palsu. Tentu saja, hanya
kepalsuan yang dimiliki makhluk serta dunia. Maka, bukankah angkuh jika
berharap dengan sangat akan sesuatu yang tak punya daya terhadap diri sendiri?
Makhluk yang masih bergantung pada Dzat yang lebih agung.
“Angin mulai dingin, kan? Kemarilah …,”
katanya.
Sepasang tangan meraih tubuh itu dengan
spontan. Jemari ikut membelai punggung hingga kepala. Erat kudekap tubuh
berbulu dengan empat kaki manisnya. Ia terdiam, tak meronta melepaskan diri
bahkan tak mengeong. Hanya menikmati hujan yang datang tiba-tiba. Dari balik
kusen yang pori-porinya tak pernah sekalipun muncul alien berantena dengan
seribu tentakel dan ekor “Gumiho”nya.
Hujan masih akan turun, dan tak ingin
reda hingga hari itu tiba. Kau ingat, namanya Nathan. Nama yang katamu
mengingatkan akan sebuah kisah. Bulu yang menutup sekujur tubuh masih selegam
dulu. Tentu saja ekor menjuntai itu tetap hitam. Dengan wajah datar menggemaskan
dan enam helai kumis panjang di wajah. Hanya kini sedikit liar, dia menjadi
petualang tangguh yang kadang lupa jalan pulang. Masih ingat dia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar