Pandemi, Masalah dan Sudut pandang | Opini Muthiyyatunnisa - KBM Soloraya

Breaking

Hadir Untuk Menginpirasi Anda

Pandemi, Masalah dan Sudut pandang | Opini Muthiyyatunnisa











Pandemi. Begitu dunia melabeli situasi yang tercipta sejak bumi ini kedatangan tamu mungil yang para saintis menyebutnya Covid19. Adakah dampak bagi aktivitas kita? Tentu, bahkan sangat terasa. Social distancing, physical distancing, lockdown dan yang sekarang sedang santer diwartakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Adalah segudang reaksi atas wabah yang mendunia. Benar, mendunia. Ini bukan lagi masalah kota, pulau atau Negara. Namun, sudah menjadi masalah dunia, masalah kita bersama.

Mari kita fokus pada satu kata. Masalah. Apa yang ada dalam pikiran teman-teman saat membaca kata “masalah”? Jika kalian bertanya kepada saya, jawaban saya adalah mencari solusi dari masalah tersebut. Namun bagaimana caranya? Tentu mencari solusi tak semudah mengupas bungkus permen. Kita harus mengurainya terlebih dahulu menjadi piece-piece mungil agar mudah ditata kembali.

Hal yang harus kita garis bawahi bersama, bahwa mengurai masalah menjadi potongan yang lebih sederhana agar dapat kita selesaikan satu demi satu.  Dampak dari pandemi ini seperti efek kartu domino, satu terjatuh, yang lain tinggal menghitung detik waktu kejatuhannya. Jadi, bisakah kita menegakkan kartu domino yang telah jatuh secara bersamaan? Biar saya jawab, ‘tidak bisa, kecuali anda adalah Sailormoon yang memiliki kekuatan bulan atau anda murid Selena yang baru pulang latihan dari Nebula.’  

Saya rasa, tidak ada di antara kalian yang mampu menjadi sailormoon, bukan? Bahkan walau sejak kecil saya sendiri sering meniru gaya Sailormoon, toh saat dewasa saya masih tak bisa berubah seperti itu dan melindungi semua mimpi di dunia. Pun sekeras anda berusaha melatih pukulan berdentum, kekuatan Seli dan Raib hanya dimiliki oleh khayalan Tere Liye. (maaf, Om. Bukankah kita para penulis itu memang haluers tingkat dewa? Haluers yang berkelas. Tolong jangan bully saya, senior.)

Jadi, kita sepakat untuk mengurai satu per satu masalah ini dan menemukan solusi tanpa perlu mencari siapa yang paling bersalah atau paling dirugikan. Kita semua merugi, ingat, ini pandemi. Masalah bagi dunia. Kita mulai dari aspek pendidikan, ada yang bertanya mengapa dari aspek pendidikan? Pertama, saya rasa selain ekonomi pendidikan ini yang urgen untuk dicover. Melihat dari respon netizen +62 yang luar biasa hebat. Mungkin ini PR bagi para praktisi pendidikan untuk membenahi sistem. Eits … jangan salah, kita semua (iya, semua. Termasuk kamu) adalah seorang praktisi pendidikan. Minimal, kita adalah pendidik bagi diri sendiri. Alasan kedua adalah saya seorang pendidik usia dini.

Problem apa yang dihadapi para pendidik dan peserta didik di tengah pandemi yang kian meluas ini?

Jarak. Akar utama hanya satu, jadi tolong jangan lebay menanggapi. Karena jarak yang paling rumit hanyalah rindu yang kau simpan dalam diam. Baik, cukup bucinnya, back to the topic. Jika dalam matematika, jarak dapat dihitung dengan kecepatan dikali waktu tempuh. Maka, ihwal jarak dalam dunia pendidikan pun pasti ada rumusnya. Kebijakan pemerintah mengenai pembatasan sosial, husnudzon saya, sudah dipertimbangkan dengan baik. Setiap kebijakan pasti juga memiliki dampak. Tinggal bagaimana kita menyikapi efek dari kebijakan-kebijakan tersebut, menjadi makhluk penggerutu sepanjang waktu atau sebaliknya, menciptakan peluang dalam keterbatasan. Mudahnya, kita mau jadi pejuang atau pecundang.

Gawai. Salah satu alat elektronik yang sangat lekat pada manusia dengan segala fitur yang tersedia. Bukankah benda pipih tersebut dewasa ini sudah mirip tongkat sihir bagi para penghuni Hogward School? Bahkan tidur pun dikekepin. Jadi, jika murid Hogward school bisa melakukan segalanya dengan tongkat sihir, lalu mengapa kita tidak bisa memangkas jarak dengan ‘tongkat sihir’ pipih kita yang bahkan dilengkapi aneka fitur terbaru?

“Tapi gimana caranya?”
“Aku gak bisa, nih.”
“Yah, kan rasanya beda sama kalo langsung di            kelas”
“Kuota mahal, sist.”
Itu seabreg alasan dari para looser.

Ya iyalah, Markonah, Bambang, Maemunah, Marjuki. Kalian pikir Harry potter pertama kali punya tongkat sihir langsung bisa matiin Voldemort, gitu? Jelas tidak. Dalam pemilihan tongkat saja Harry sempat hampir menghancurkan toko Ollivander ‘kan? Nah, saatnya kita turning on sifat pembelajar kita kali ini. Sadar atau tidak, manusia memang mempunyai fitrah pembelajar.

Lalu bagaimana caranya belajar via daring atau online learing? Lets check this out. Yang pertama, aplikasi WhatsApp. Fitur di sini sudah sangat lengkap, mulai dari WAG, voice note dan video call. Untuk video conference, kita bisa mengakses aplikasi Webex, Loom atau Zoom

Saya tak perlu memberi tutorial penggunaannya di sini, anda bisa mencarinya di youtube atau google search. Oiya, pernah dengar aplikasi Prezi? Jika belum, patut untuk memcoba mempelajari aplikasi ini. Melalui fitur-fitur di atas, kita bisa menyapa anak didik, mengirim video tutorial, pesan suara/word text tentang materi yang diajarkan dan tugas yang harus dikerjakan anak. Mengadakan diskusi lewat video conference atau conference call. As simple as that. Jadi apa yang membuat kalian mengeluh sebenarnya?

Social media. Pernah mencoba memaksimalkan social media kita sebagai media pembelajaran yang asik? Jika belum, mari kita mulai bersama. Di antara teman-teman pembaca, adakah yang menjadi youtuber? Atau minimal penikmat konten youtube? Kepikiran gak, untuk membuat konten materi pelajaran lewat video youtube? Ajak siswa anda untuk menjadi follower. Lumayan ‘kan, bisa nambah jumlah follower YT? Sekali tepuk dua lalat kena. Be creative people, Man. Ini berlaku juga untuk para instalover dan tweetlover. Akan lebih berfaedah daripada kalian berkicau bucin di twitter. Beginilah yang saya sebut belajar rasa bermain.

Jadi, masih akan mengeluh tentang sulitnya kegiatan belajar mengajar di kala pandemi?

Tentang penulis:
Muthiyyatunnisa, itu nama pena yang tak jauh berbeda dari nama pemberian orang tua. Apa yang ingin kamu tahu darinya? Seorang penjaga malaikat-malaikat mungil tanpa sayap yang belajar merajut jaring laba-laba. Dia sendiri lebih sering sibuk melukisi sayap kupu-kupu daripada menyulam sayap yang kuat untuk diri sendiri. Wanita yang selalu mengatakan tak menyukai senja, tetapi setia menunggui kunang-kunang muncul di ujung gulita dalam hamparan sabana. Kotak mimpi, begitu ia menjuluki tempat mengajari anak-anak pelangi menasbihkan asa. Begitulah, setiap mentari pagi meyapa, telapak kaki itu melangkah menuju PAUD IT Insan Harapan Ngawen, Klaten. Kamu bisa menjumpainya di sana. Namun, hanya jika kamu juga ingin belajar merajut jaring laba-laba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar