Bulan Suci Terakhir - KBM Soloraya

Breaking

Hadir Untuk Menginpirasi Anda

Bulan Suci Terakhir



 Duh! Suasana negeri belakangan ini tampak begitu mengerikan. Ini semua gara-gara virus itu. Ya Tuhan! Mengapa ini semua terjadi pada negeri yang teramat kucintai? Apakah ini memang telah Engkau skenariokan?  Apakah ini rekayasa penghuninya sendiri yang tidak berbudi? Dunia ini sudah biasa diotak-atik dengan dalih pengembangan ilmu pengetahuan. Nahas, dunia tidak merestuinya.
Ketika kudengar berita tentang orang-orang yang terinfeksi virus itu, badanku terasa lemas. Kemudian disusul dengan berita kematian orang-orang yang tak sanggup menjadi inang virus itu. Lalu kemana para ilmuan yang mengotak-atik dunia itu? Di mana obatnya? Di mana vaksinnya? Semakin lama semakin banyak korban yang bergelempangan. Apakah kalian merasa senang dengan semakin banyaknya korban? Ya, karena kalian akan meraup keuntungan yang melimpah dari vaksin itu.
Setelah itu, muncul berbagai animasi di televisi dan media daring lainnya tentang bagaimana mencegah virus itu agar tidak merajai tubuh kita. Mencuci tangan yang bersih, hindari kontak antar kulit, memakai masker, hand sanitizer, dan lain-lain. Mereka terus menggembor-gemborkannya dan aku muak. Ya, karena semakin lama korban virus itu semakin banyak hingga mencapai angka ribuan. Usaha itu bisa dibilang sia-sia. Di manakah pemerintah yang kita agungkan? Kenapa lambat sekali menangani ini? Semuanya lambat, terlalu lambat untuk mengambil keputusan.
Apakah Work from home and social distancing yang selama ini kita jalani membantu? Mungkin iya. Namun, nyatanya masalah-masalah lain timbul. Orang-orang kelaparan, bahkan ada yang meninggal. Ironis! Ada yang keluar rumah namun dirazia. Lantas kita mau makan apa?
Tubuh kita akan pusing ketika virus itu menempel di badan kita. Mereka membelah dengan sempurna dalam hitungan detik. Tubuh terasa sangat lelah, demam dan batuk kering. Gejala itulah yang aku alami sekarang. Apakah aku terinfeksi dan menjadi inang makhluk itu? Tidak mungkin! Aku selalu menjaga jarak, mengindahkan segala imbauan pemerintah, memakai masker, rajin cuci tangan, bahkan sanyo di indekosku sampai rusak.
Sebentar lagi Ramadan tiba. Namun, Ramadan tahun ini sangat berbeda dan benar-benar berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kenapa? Tentu gara-gara virus bandel yang telat  penanganannya itu. Sore itu aku ingat, ketika aku pulang kerja dan suara perempuan mengabarkan tentang larangan salat tarawih berjamaah dan tadarus di masjid. Ya Tuhan! Apa lagi ini? Tidak pernah terbayang dalam benakku bahwa Ramadan tahun ini akan begitu sulit. Aku tidak mau bersunyi-sunyi di dalam indekos sempit ini. Setelah aku pikir-pikir, kawasan ini memang berada di dalam zona merah--pusat penyebaran virus, jadi wajar saja jika salat tarawih berjamaah dilarang di sini. Namun ini bukanlah suatu akhir. Aku masih bisa salat tarawih di rumah. Tapi, itu pasti akan terasa sangat berat. Sejak saat itu aku memutuskan untuk pulang kampung.
Berpuasa di kampung halaman adalah ide yang sangat cemerlang bagiku karena ini adalah mudik pertama bagiku. Bagi perantau kelas kakap, tidak mudik ke kampung halaman mereka mungkin sudah biasa. Namun bagi perantau amatiran sepertiku, ini adalah momen yang sangat luar biasa.
Ketika lulus SMA tahun 2019 lalu, aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Katanya, sih, kota ini adalah kota yang sangat kejam melebihi ibu tiri. Ternyata benar, berada di kota ini bagai berada di neraka, panas dan sesak dengan persaingan hidup. Terlepas dari itu, ada sedikit rasa bangga yang terselip dalam batinku. Rasa syukur yang tak bertepi selalu terucap karena aku berhasil mendapatkan pekerjaan yang layak di tengah persaingan keras ini. Ya, aku bisa mendapat uang dari hasil jeri payahku sendiri. Setengah dari gaji pertamaku aku berikan untuk ibu di kampung. Tidak banyak, namun setidaknya bisa membantu.


Sebagaimana tradisi yang telah berjalan lama di masyarakat, rasanya tidak sah bermudik jika tidak membawa oleh-oleh. Aku akan belanja banyak barang. Baju untuk ibu, bapak dan adik. Kue kering, sirup, kurma, dan masih banyak lagi.
***
Orang-orang berjajar di garis antrean depan mall. Di depan sana ada petugas dengan seragam lengkap dan masker yang menutupi batang hidung dan mulut mereka. Mereka menempelkan termometer arteri temporal--pemindai suhu tubuh di dahi--kepada setiap pengunjung yang lalu lalang. Duh! Ini akan sangat memakan waktu.
“Suhu normal!” ucap petugas kepada seseorang di depanku. Petugas itu mengangguk--memperbolehkan orang itu untuk melanjutkan perjalanannya. Dan kini saatnya giliranku.
“Suhu tinggi!”
“38c!”
“Emang kenapa, Pak, kalo suhu badan saya tinggi,” aku dengan segenap kebodohan menanyakannya.
“Itu tidak normal. Artinya tubuhmu sedang berjuang melawan penyakit atau infeksi,” jelasnya.
Deg! Aku kaget seketika. Memang sebelum itu badanku terasa panas dan sudah hampir tiga hari ini berlangsung. Diselingi dengan batuk yang cukup menyiksa. Petugas itu segera menyarankanku untuk melakukan rapid test.
***
Terima kasih, Tuhan, atas semuanya. Dengan ini aku semakin mantap untuk segera pulang kampung. Tempat ini, tempatku mencari impian yang masih berserak, adalah benar-benar neraka. Lihatlah tatapan mata mereka. Sinis! Mereka menghindariku. Mereka takut. Mereka memaksakan senyum.
Dengan ini aku mendapat gelar yang indah, walaupun aku tidak pernah duduk di bangku kuliah. Ya, gelar yang disematkan di akhir namaku, Denis, PDP. Ya Allah, aku sangat senang sekali.
Tak kuasa rasanya untuk mengabarkan perihal ini kepada keluargaku di kampung. Mereka akan sangat cemas. Dalam perantauanku aku selalu mencoba untuk meringankan beban mereka. Aku tidak mau terus-menerus menjadi beban juga benalu bagi mereka.
Jadi apakah aku tega melihat keluargaku terinfeksi? Tuhan, siapa yang bakal sudi melihat keluarganya merana. Aku hanya tak mau jauh dari orang tuaku. Walaupun nantinya ketika jasadku telah berpisah dengan ruh aku bisa melayang-layang kemanapun yang aku mau, aku hanya ingin mereka berziarah kemakamku dan mendoakanku. Tidak perlu jauh-jauh datang kemari. Aku ingin dimakamkan selayaknya manusia normal.
 “Kau jadi mudik, kan?” tanya ibuku dari sambungan telepon.
“Iya. Besok saya berangkat.”
“Hati-hati dan jangan lupa oleh-olehnya, ya?”
“Beres!”

***
Aku merunduk-runduk di tengah malam. Beruntung malam itu bulan sedang alpa--tidak menampakkan sinarnya yang paripurna. Orang-orang masih larut dalam mimpi indah mereka. Aku lepas dari pengawasan mata yang sangat menjemukan itu. Aku berhasil keluar.
“Bagaimana mobilnya. Sudah siap?” tanyaku kepada Baim, temanku.
“Siap!”
“Kau tidak usah bayar. Mobil ini penuh dengan pakaian yang akan aku jual ke Lampung. Aku mau jualan dan berpuasa di tempat sodaraku.”
“Terimakasih, Im.”
Dengan kecepatan sedang kami melaju meninggalkan tanah itu. Perasaanku lega. Aku akan segera bertemu dengan keluargaku. Namun, selalu saja terselip kesedihan di setiap keluasan mata memandang. Baju-baju ini dan Baim, maaf.
Mungkin Ramadan ini akan menjadi bulan suci terakhir untukku. Sepanjang jalan kenangan dan selama pikiran ini masih bisa mengingat, aku tahu, amalku masih kurang. Sekarang aku malah menambah amal keburukanku lagi dengan menjadi virus yang menyebarkan mala petaka.
Gelombang laut biru itu melambai, menyambut pendar mentari pagi. Angin laut sangat segar dan sejuk. Serdadu camar itu bersiul, seolah mendukungku untuk terjun di kedalaman laut. Sial, Baim memanggilku. Sebenarnya aku tak terlalu berniat untuk melakukannya. Aku masih ingin mencium dan membasuh kedua telapak kaki ibuku. Siapa tahu Tuhan masih berbaik hati dan mengizinkanku untuk bertemu dengan hari kemenangan-Nya yang agung--idul fitri.
Tak terasa dalam lamunan panjang yang cukup melelahkan, ombak kapal yang membawa diriku berhasil memecah kesunyian di pelabuhan Bakauheni. I’m coming back home.

Tanggamus, 26 April 2020

Biodata Penulis
*Firman Fadilah, mahasiswa pecinta sajak. Karya-karyanya banyak dimuat dalam antologi puisi dan cerpen. Salah duanya dalam antologi puisi Potret Kehidupan (2020)dan antologi puisi Luka (2020).
Alamat Pedukuhan Sinar Pabean, Desa Sumberejo, Ke. Sumberejo, Kab. Tanggamus, Lampung. 35374. E-mail : fadilahfirman651@gmail.com, IG: firmanfadilah_00, dan Twitter    : @FirmanF00






Tidak ada komentar:

Posting Komentar