Ketika kudengar berita tentang
orang-orang yang terinfeksi virus itu, badanku terasa lemas. Kemudian disusul
dengan berita kematian orang-orang yang tak sanggup menjadi inang virus itu. Lalu
kemana para ilmuan yang mengotak-atik dunia itu? Di mana obatnya? Di mana
vaksinnya? Semakin lama semakin banyak korban yang bergelempangan. Apakah
kalian merasa senang dengan semakin banyaknya korban? Ya, karena kalian akan
meraup keuntungan yang melimpah dari vaksin itu.
Setelah itu, muncul berbagai
animasi di televisi dan media daring lainnya tentang bagaimana mencegah virus
itu agar tidak merajai tubuh kita. Mencuci tangan yang bersih, hindari kontak antar
kulit, memakai masker, hand sanitizer, dan lain-lain. Mereka terus
menggembor-gemborkannya dan aku muak. Ya, karena semakin lama korban virus itu
semakin banyak hingga mencapai angka ribuan. Usaha itu bisa dibilang sia-sia. Di
manakah pemerintah yang kita agungkan? Kenapa lambat sekali menangani ini? Semuanya
lambat, terlalu lambat untuk mengambil keputusan.
Apakah Work from home and
social distancing yang selama ini kita jalani membantu? Mungkin iya. Namun,
nyatanya masalah-masalah lain timbul. Orang-orang kelaparan, bahkan ada yang
meninggal. Ironis! Ada yang keluar rumah namun dirazia. Lantas kita mau makan
apa?
Tubuh kita akan pusing ketika
virus itu menempel di badan kita. Mereka membelah dengan sempurna dalam
hitungan detik. Tubuh terasa sangat lelah, demam dan batuk kering. Gejala itulah
yang aku alami sekarang. Apakah aku terinfeksi dan menjadi inang makhluk itu? Tidak
mungkin! Aku selalu menjaga jarak, mengindahkan segala imbauan pemerintah, memakai
masker, rajin cuci tangan, bahkan sanyo di indekosku sampai rusak.
Sebentar lagi Ramadan tiba. Namun,
Ramadan tahun ini sangat berbeda dan benar-benar berbeda dari tahun-tahun
sebelumnya. Kenapa? Tentu gara-gara virus bandel yang telat penanganannya itu. Sore itu aku ingat, ketika
aku pulang kerja dan suara perempuan mengabarkan tentang larangan salat tarawih
berjamaah dan tadarus di masjid. Ya Tuhan! Apa lagi ini? Tidak pernah terbayang
dalam benakku bahwa Ramadan tahun ini akan begitu sulit. Aku tidak mau
bersunyi-sunyi di dalam indekos sempit ini. Setelah aku pikir-pikir, kawasan
ini memang berada di dalam zona merah--pusat penyebaran virus, jadi wajar saja jika
salat tarawih berjamaah dilarang di sini. Namun ini bukanlah suatu akhir. Aku
masih bisa salat tarawih di rumah. Tapi, itu pasti akan terasa sangat berat. Sejak
saat itu aku memutuskan untuk pulang kampung.
Berpuasa di kampung halaman
adalah ide yang sangat cemerlang bagiku karena ini adalah mudik pertama bagiku.
Bagi perantau kelas kakap, tidak mudik ke kampung halaman mereka mungkin sudah
biasa. Namun bagi perantau amatiran sepertiku, ini adalah momen yang sangat
luar biasa.
Ketika lulus SMA tahun 2019
lalu, aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Katanya, sih, kota ini adalah
kota yang sangat kejam melebihi ibu tiri. Ternyata benar, berada di kota ini
bagai berada di neraka, panas dan sesak dengan persaingan hidup. Terlepas dari
itu, ada sedikit rasa bangga yang terselip dalam batinku. Rasa syukur yang tak
bertepi selalu terucap karena aku berhasil mendapatkan pekerjaan yang layak di
tengah persaingan keras ini. Ya, aku bisa mendapat uang dari hasil jeri payahku
sendiri. Setengah dari gaji pertamaku aku berikan untuk ibu di kampung. Tidak
banyak, namun setidaknya bisa membantu.
Sebagaimana tradisi yang telah
berjalan lama di masyarakat, rasanya tidak sah bermudik jika tidak membawa
oleh-oleh. Aku akan belanja banyak barang. Baju untuk ibu, bapak dan adik. Kue
kering, sirup, kurma, dan masih banyak lagi.
***
Orang-orang berjajar di garis
antrean depan mall. Di depan sana ada petugas dengan seragam lengkap dan masker
yang menutupi batang hidung dan mulut mereka. Mereka menempelkan termometer
arteri temporal--pemindai suhu tubuh di dahi--kepada setiap pengunjung yang
lalu lalang. Duh! Ini akan sangat memakan waktu.
“Suhu normal!” ucap petugas
kepada seseorang di depanku. Petugas itu mengangguk--memperbolehkan orang itu untuk
melanjutkan perjalanannya. Dan kini saatnya giliranku.
“Suhu tinggi!”
“38c!”
“Emang kenapa, Pak, kalo suhu
badan saya tinggi,” aku dengan segenap kebodohan menanyakannya.
“Itu tidak normal. Artinya tubuhmu
sedang berjuang melawan penyakit atau infeksi,” jelasnya.
Deg! Aku kaget seketika.
Memang sebelum itu badanku terasa panas dan sudah hampir tiga hari ini
berlangsung. Diselingi dengan batuk yang cukup menyiksa. Petugas itu segera menyarankanku
untuk melakukan rapid test.
***
Terima kasih, Tuhan, atas
semuanya. Dengan ini aku semakin mantap untuk segera pulang kampung. Tempat
ini, tempatku mencari impian yang masih berserak, adalah benar-benar neraka.
Lihatlah tatapan mata mereka. Sinis! Mereka menghindariku. Mereka takut. Mereka
memaksakan senyum.
Dengan ini aku mendapat gelar yang
indah, walaupun aku tidak pernah duduk di bangku kuliah. Ya, gelar yang
disematkan di akhir namaku, Denis, PDP. Ya Allah, aku sangat senang sekali.
Tak kuasa rasanya untuk
mengabarkan perihal ini kepada keluargaku di kampung. Mereka akan sangat cemas.
Dalam perantauanku aku selalu mencoba untuk meringankan beban mereka. Aku tidak
mau terus-menerus menjadi beban juga benalu bagi mereka.
Jadi apakah aku tega melihat
keluargaku terinfeksi? Tuhan, siapa yang bakal sudi melihat keluarganya merana.
Aku hanya tak mau jauh dari orang tuaku. Walaupun nantinya ketika jasadku telah
berpisah dengan ruh aku bisa melayang-layang kemanapun yang aku mau, aku hanya ingin
mereka berziarah kemakamku dan mendoakanku. Tidak perlu jauh-jauh datang
kemari. Aku ingin dimakamkan selayaknya manusia normal.
“Kau jadi mudik, kan?” tanya ibuku dari
sambungan telepon.
“Iya. Besok saya berangkat.”
“Hati-hati dan jangan lupa
oleh-olehnya, ya?”
“Beres!”
***
Aku merunduk-runduk di tengah
malam. Beruntung malam itu bulan sedang alpa--tidak menampakkan sinarnya yang
paripurna. Orang-orang masih larut dalam mimpi indah mereka. Aku lepas dari
pengawasan mata yang sangat menjemukan itu. Aku berhasil keluar.
“Bagaimana mobilnya. Sudah
siap?” tanyaku kepada Baim, temanku.
“Siap!”
“Kau tidak usah bayar. Mobil
ini penuh dengan pakaian yang akan aku jual ke Lampung. Aku mau jualan dan berpuasa
di tempat sodaraku.”
“Terimakasih, Im.”
Dengan kecepatan sedang kami
melaju meninggalkan tanah itu. Perasaanku lega. Aku akan segera bertemu dengan
keluargaku. Namun, selalu saja terselip kesedihan di setiap keluasan mata
memandang. Baju-baju ini dan Baim, maaf.
Mungkin Ramadan ini akan
menjadi bulan suci terakhir untukku. Sepanjang jalan kenangan dan selama
pikiran ini masih bisa mengingat, aku tahu, amalku masih kurang. Sekarang aku malah
menambah amal keburukanku lagi dengan menjadi virus yang menyebarkan mala
petaka.
Gelombang laut biru itu
melambai, menyambut pendar mentari pagi. Angin laut sangat segar dan sejuk. Serdadu
camar itu bersiul, seolah mendukungku untuk terjun di kedalaman laut. Sial,
Baim memanggilku. Sebenarnya aku tak terlalu berniat untuk melakukannya. Aku
masih ingin mencium dan membasuh kedua telapak kaki ibuku. Siapa tahu Tuhan
masih berbaik hati dan mengizinkanku untuk bertemu dengan hari kemenangan-Nya
yang agung--idul fitri.
Tak terasa dalam lamunan panjang
yang cukup melelahkan, ombak kapal yang membawa diriku berhasil memecah kesunyian
di pelabuhan Bakauheni. I’m coming back
home.
Tanggamus, 26 April 2020
Biodata Penulis
*Firman
Fadilah, mahasiswa pecinta sajak. Karya-karyanya banyak dimuat dalam antologi
puisi dan cerpen. Salah duanya dalam antologi puisi Potret Kehidupan (2020)dan
antologi puisi Luka (2020).
Alamat Pedukuhan Sinar Pabean, Desa Sumberejo, Ke. Sumberejo, Kab.
Tanggamus, Lampung. 35374. E-mail : fadilahfirman651@gmail.com, IG:
firmanfadilah_00, dan Twitter : @FirmanF00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar