Tentang seorang lelaki yang mencurahkan rindu, kesedihan, cinta, serta amarah ke dalam tulisan. Dia berusaha melawan kesepian dengan berimajinasi bersama alam. Kumpulan puisi ini ditulis dari tahun 2016.
Aroma Pengganti Mentari yang Pergi
Aku selalu kagum dengan cara mentari berpamitan pergi
Merah dan keemasan yang mengiring pun tak terlihat risau saat terganti
Apakah di sana cahaya itu benar-benar dinanti untuk kembali?
Sudah, biar aku teguk langit gelap ini bersama pekat secangkir kopi
Meski wanginya merasuk dan sempurnakan ronamu dalam memori
Apa yang sesungguhnya sedang aku cari?
Cangkir ini terlanjur penuh dengan ambisi
Satu hal yang patutnya aku hindari agar kisah kita tak hanya menjadi mimpi
Bukan berlari dari senyummu yang harusnya aku lindungi
Apalagi bersembunyi dari lukamu yang harusnya aku obati
Bukan karena aku pernah menyeduh warna yang dulu kau nikmati
Namun di pahit yang dulu kau gemari ini ada aroma yang selalu bisa dibagi
Supaya kau tak terangkul oleh sepi
Selesai April 2020
Keluh Sunyi Dalam Gemuruh
Juwita, suara gemuruh itu datang lagi
Setidaknya isi hati yang terbakar ambisi kini dipenuhi hawa dingin
Lilin pun meleleh saat berusaha menjaga cahaya
Mungkin ia juga merasa lelah terus berpura-pura
Seorang diri menopang harapan saat bulan bersembunyi di balik awan
Juwita, yang terlihat kini hanya kelam
Di sini hanya ronamu yang membuat asa ini tetap menyala
Air pun bergemercik sesaat, lalu mencari jalan kembali
Rasanya ia juga terlunta-lunta untuk mencapai mimpi
Perlahan menyusuri sunyi saat tanah tertutup aspal dan gedung tinggi
April 2020
Hikayat Akar
Kami ini akar dan kau pohon beringin yang
menjulang
Kaulah penguasa segala bentuk keindahan di atas sana
Kami hanya bagian dari kehidupan yang terpendam pengap di bawah kegelapan
Mencari jalan untuk menjadikanmu kokoh dan kuat
Bertumbuh dan tumbuh dengan menyerap semua yang kami kumpulkan
Tapi kami ini hanyalah akar
Kau harus menjaga kami tetap merambat merongrong tanah
Sadarkah kau, apa yang terjadi bila kami lenyap?
Memang kaulah penguasa keindahan, namun ingatlah bahwa kami pemegang kehidupan
2016
Sejuk yang Hilang
Yang temani khayalku kali ini adalah laut tak berombak
Pohon-pohon tak menari, ia tahu sunyi ini patutnya dihayati
Nelayan yang sedang menanti untuk bisa kembali
Potret kekacuan tanpa suara, sederhana namun merana
Ketiadaanmu menyeretku ke dalam ruang hampa
Lelah terombang-ambing, entah sampai mana aku mencari
Harusnya aku ikuti lajumu tanpa ada rasa benci
Dengan hati yang terbiasa terluka, aku ingin percaya hadirmu itu nyata
Rasanya tak akan pernah ada jalan untuk labuhkan nestapa
Ruang ini telah dipenuhi api, tak mampu lagi untuk menepi
Aku mulai khawatir arahmu tak akan pernah hadir
terdiam di ujung senja, menantang kelam tanpa ada harapan
Mei 2020
Hujan yang Berderu
Walau mendung enggan berlalu
Walau suara hujan begitu deru
Masih kudengar lembut bisikMu
Yang ingatkan tentang jalan yang kutuju
Aku bersimpuh lesu
Tak mampu menahan haru
Walau hati ini sedang bersedu
Walau rindu begitu menggebu
Masih saja aku jauh dariMu
Yang ingatkan tentang jalan yang kutuju
Aku tertunduk malu
Tak mampu memandang wajahMu
Mei 2017
Rembulan di Tepian Waktu
Aku hanyalah senja yang menjaga cahaya
Mencoba membela sisa makna di langit merah
Namun mentari tak lagi mau mengerti
Dekati gunung dan perlahan sembunyi
Asa perlahan memudar dan terganti oleh gelapnya nestapa
Camar-camar itu merasa bahwa aku tak lebih dari petaka
Aku silakan kelam itu menghiasi ruang-ruang memori
Sungguh tak ada yang abadi di bumi dan aku tidak peduli
Langit makin gelap dan harapan pun terbenam
Sejenak kupandangi sebelum menyisakan diam
Aku telusuri malam di antara kerikil puing-puing mimpi
Sambil nyalakan lilin sekedar untuk menipu diri
Selesai Mei 2020
Biodata Penulis :
Almas Herwangga, lahir di Kota Solo 30 tahun lalu dan berdomisili di Kota Garam selama hampir dua tahun belakangan. Selain tidur dan makan, hobi yang biasa dilakukan adalah memainkan alat musik gitar, namun belakangan ini lebih sering mengisi waktu luang dengan bermain game.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar