LELAKI DI DALAM KERETA
(By: Novi Darmayanti)
Tergesa
kaki ini melangkah menuju stasiun Ratangga1) Blok M, pagi ini.
Lemburan kerja yang memaksa begadang sampai melewati tengah malam, membuatku
bangun agak kesiangan dan terlambat mengejar jadwal pemberangkatan Ratangga
sebelum jam sibuk. Kulirik sekilas penunjuk waktu di layar ponsel, sambil
mencari gerbong yang agak longgar, Jam 07.16.
“Duh males banget deh kalau kena jam
sibuk gini, desek-desekannya gak nguatin.” Rutukku dalam hati.
Akhirnya
di sinilah aku sekarang, di dalam gerbong nomer lima, berdiri berhimpitan
dengan banyak orang yang aku yakin merekapun ingin cepat-cepat sampai ke tujuan
masing-masing. Dalam suasana begini, kebanyakan orang memilih diam. Keheningan
pun tercipta dan hanya bunyi deru laju Ratanggalah yang sesekali memecahnya.
Kehidupan ibu kota yang super sibuk, memang membuat banyak orang menjadi lebih
individualis, sehingga merasa tak perlu bertegur sapa dengan sekitarnya. Aku
pun memilih diam atau sesekali melempar senyum pada orang di depanku, saat mata
ini tak sengaja saling bertatapan. Seorang perempuan lumayan modis dengan
setelan blazer abu-abu
dan kerudung warna senada itu pun tersenyum membalasku.
Aku
tengah berfikir tentang hasil lemburan semalam, saat sebuah obrolan tiba-tiba
memecah konsentrasi. Obrolan yang datang dari arah samping kanan tempatku
berdiri. Menebak dari warna suaranya, mereka yang tengah terlibat obrolan
adalah dua orang lelaki muda. Tema obrolan mereka menarik perhatianku, tema
jodoh dan keluarga. Jarang-jarang ada lelaki yang memilih tema itu buat bahan
obrolan di tempat umum.
“Mas, mau ke mana?” Tanya lelaki satu.
“Mau nganterin pacar nih, ke Lebak Bulus.” Jawab lelaki dua.
“Oh ini pacarnya ya mas? Aku doain ya,
biar Mas dan Mbak cepet nikah dan jadi keluarga yang langgeng.” Balas lelaki satu lagi.
“Amin. Mas sendiri udah nikah? Atau masih
pacaran juga kaya kami?” Lelaki
dua bertanya lagi.
“Belum Mas, dan aku juga gak pacaran.
Penginnya ntar pacarannya pas abis nikah aja, hehe.” Lelaki satu kembali menimpali.
Obrolan terus
berlanjut. Aku yakin bukan hanya aku yang tak sengaja nguping obrolan
mereka, sebab suara mereka lumayan jelas terdengar. Aku jadi penasaran sama
tampang si lelaki satu itu. Seorang lelaki muda berkacamata dan mengenakan
kemeja putih lengan panjang yang digulung sebatas siku. Dia tengah tersenyum di
sela obrolannya, tepat saat aku mencuri pandang ke arahnya, sebelum
aku bergegas turun di stasiun Fatmawati. Tiba-tiba sebuah suara maskulin
menghentikanku.
“Mbak! Mbak! Bukunya jatuh nih.” Seseorang menyodorkan sebuah buku ke
arahku. Seorang pemilik senyum manis, yang tadi terlibat obrolan itu kini
tengah menatapku. Ups, kenapa aku
mendadak bahagia saat ditolong dan disenyumi olehnya?. Andai tidak buru-buru
hendak turun, ingin aku menyapanya lebih panjang atau sekedar bertanya,
“Mas, namanya siapa?”.
Dan pasti ia juga tak akan keberatan
menjawab, “Abdulloh!”.
Ehh itu sih scene dalam
adegan film Ketika Cinta Bertasbih ya, hehe.
Antara tak sadar dan kaget, aku buru-buru
mengedarkan pandangan ke seluruh stasiun, khawatir ada orang yang memergokiku
tengah senyum-senyum gak jelas
begini.
***
[Ai, pekan depan aku mau nikah, awas loh
kalo gak dateng.] Sebuah
pesan dari Liza sahabatku, tiba-tiba.
[Oya, wah surprise banget aku, sama siapa
nikahnya? Orang mana? Kok baru bilang sih.] Aku tak terima, sebab baru diberi tahu saat waktu
sudah mepet begini.
[Ada deh, ntar kenalan dan tanya-tanya
sendiri aja sama orangnya. Haha. Eh dirimu kapan nikah? Udah ada calon belum?
Ayo barengan aja.] Liza
meledekku.
[Mmm rahasia, ntar aja aku ceritain,
calon insyaAllah udah ada.] Balasku.
Mendadak, aku
teringat sosok lelaki berkacamata dengan senyum sempurna dalam kereta Ratangga
waktu itu. Mungkinkah ia jodohku? Bisakah aku bertemu lagi dengannya?
Sejujurnya, aku belum punya calon, tapi entah kenapa ada perasaan sreg dan
sepakat sama lelaki itu. Aku juga pengin pacaran nanti saja setelah menikah,
pacaran sama suami sendiri. Sepertinya lebih seru, lebih jujur dan
lebih lepas. Tidak seperti Maya, teman sekantorku, yang kalau lagi pacaran
berubah menjadi jaim. Atau
seperti Rina tetanggaku, yang sering banget curhat kalau lagi berantem karena
pacarnya terlalu posesif. Akhirnya aku berkesimpulan, pacaran kayak mereka itu,
membuat hidup jadi ribet. Mendingan
jomblo begini, bebas berekspresi dan berpetualang, no jaim, no posesif.
***
[Za, aku besok mau ke Bogor nih.] pesanku pada Liza yang tinggal di
daerah Ciampea, kabupaten Bogor. Dekat sama kampus IPB. Kampus tempat kami dulu
menimba ilmu sekaligus tempat yang menyaksikan persahabatan kami berdua.
[Asek nehh, mau bantu-bantu aku prepare
nikahan ya?] Balas
Liza.
[Gak Za, kan nikahanmu masih 3 hari lagi.
Aku ada tugas kerjaan dari kantor nih buat ngambil sampel di Kebun Raya Bogor.]
Aku sebenarnya sudah kangen banget sama
Liza. Kami belum pernah bertemu lagi sejak dua tahun lalu, sejak kami lulus.
Kesibukan masing-masing, membuat kami terpaksa rela melepas rindu hanya melalui
pesan atau telepon.
Persiapan
menuju Bogor hari ini, telah ku lakukan sejak pagi dini hari. Aku berencana
naik Commuter
line (CL)2) dari Stasiun Sudirman pada jam keberangkatan
paling pagi yaitu sekitar jam 07.00. Aku memang lebih suka naik kereta ke
manapun. Tanpa terkena macet, lebih cepat dan yang jelas suasana kereta
membuatku merasa lebih nyaman, walau kadang harus berdesak-desakan. Begitu
memasuki gerbong, aku langsung bergerilya mencari tempat duduk. Tapi nihil,
semua bangku telah penuh terisi.
“Duh, emang dasar nasib harus selalu
berdiri kalo naik kereta.” Batinku.
Sebenarnya ada
gerbong khusus perempuan di dua gerbong paling ujung depan dan belakang. Namun,
banyak orang bilang, justru di gerbong itu keadaannya lebih miris, kebanyakan
orang di sana bersikap egois, kalau sudah punya tempat duduk, mereka tak mau
berbagi lagi kepada siapapun, walaupun ada perempuan yang lebih tua atau
perempuan yang kerepotan membawa balita. Ada yang pura-pura sibuk dengan
ponselnya, pura-pura tak mendengar dengan memasang earphone atau
pura-pura tidur. Eh, mereka pura-pura atau beneran ya? Hanya mereka yang tahu
pasti. Maka, aku memilih gerbong ini saja, gerbong campuran. Siapa tau nanti
ada lelaki baik hati yang mau berbagi tempat duduk. Hehe ngarep.
Aku
telah berdiri sekitar seperempat jam, saat CL ini
memasuki stasiun Cawang. Penumpang terus saja bertambah setiap melewati stasiun
pemberhentian. Walaupun ada pula yang turun, tapi jumlahnya sangat sedikit.
Mungkin kebanyakan tujuan mereka sama denganku, turun di stasiun terakhir.
Karena penumpang semakin sesak, aku lebih mempererat peganganku pada tempat
gelantungan di atasku. Untung semua CL kini
telah Ber-AC,
sehingga penuhnya penumpang tak membuat badan gerah dan kehabisan oksigen. Namun,
tetap saja aku merasa agak kepayahan, karena dorongan orang dari berbagai arah,
dari depan, belakang, kanan dan kiri.
“Mbak gak papa? Mbak kelihatan pucet
banget lho.” Seorang
lelaki menyapa. Aku memang pernah punya riwayat buruk kalau berada di tengah
keramaian orang. Dulu hobinya pingsan kalau sedikit saja terkena panas atau
kegerahan. Sapaan lelaki barusan, mengingatkan pada suara lelaki dalam Ratangga
waktu itu. Buru-buru aku mendongak ke sumber suara. Detak jantung seolah
berhenti demi melihat sosok yang berdiri di depanku. Benar, ia lelaki yang ada
di Ratangga sebulan lalu. Lelaki yang kudambakan menjadi pendamping hidup.
Mungkin ini gila dan terlalu cepat, tapi itu kenyataannya.
“Mbak, beneran gak papa? Mbak makin pucet
lho sekarang.” Ya
jelaslah makin pucat, karena kini banyak rasa yang bertabrakan tak beraturan di
dadaku.
Tiba-tiba lelaki itu menyapukan
pandangannya ke arah bangku di belakangnya.
“Mas, maaf, bolehkah gantian berdiri,
Mbak ini pucet banget, Mbak ini perlu duduk.” Pinta lelaki itu sopan, kepada seseorang yang tadi
duduk di bangku itu. Mas-Mas itupun berdiri, dan aku bergegas duduk, karena
kepala ini memang mendadak pening.
“Mbak mau ke mana?” Tanyanya lagi.
“Ke Bogor, Mas.” Jawabku singkat, karena tak ingin
ia membaca perasaan yang tengah berkecamuk dalam getar suaraku.
“Wah berarti sama mbak, saya juga mau ke
Bogor.” Sahutnya
sambil tersenyum. Senyum khas yang tetap masih melekat dalam memoriku selama
sebulan ini.
“Duh kalau gini terus, bisa pingsan
beneran nih.” Suara
batinku.
“Mas, masih inget saya gak? Sebulan lalu
kita pernah ketemu di Ratangga, Mas yang nolongin saya waktu buku saya
terjatuh.” Akhirnya
berani juga aku mengatakan ini padanya. Ia tersenyum.
“Iya, saya inget banget Mbak.” What? Ia
ternyata ingat juga. Aku pun tak bisa menahan senyum bahagia ini. Obrolan terus
berlanjut. Dari obrolan ini, membuatku tahu, lelaki itu memang ramah, sopan,
perhatian dan peduli.
Aku kaget, saat suara seseorang
membangunkanku. Entah berapa lama aku tertidur. Tadi kepalaku memang tiba-tiba
pening lagi dan semakin berat. Maka aku mencoba memejamkan mata. Eh tak
taunya malah ketiduran.
“Mbak,
lain kali kalau lagi kurang sehat, jangan bepergian dulu. Kalau tertidur di
kereta sampe pules, bahaya loh Mbak. Kalau ada yang nyopet tas Mbak atau
ngapa-ngapin Mbak, gimana?”. Ternyata lelaki itu masih ada di
depanku. Buru-buru aku mengecek tas bawaan. Ternyata masih lengkap. Mungkin
lelaki itu yang sejak tadi menjagaku. Sungguh, aku jadi malu, karena ketahuan
tidur pulas saat lagi ngobrol, takut tadi tidurku ngiler atau ngorok. Ahhh malu.
“Mbak, siap-siap, bentar lagi kita nyampe
di stasiun Bogor”. Kata
lelaki itu lagi. Dan benar saja, belum sempat aku menjawab, terlihat semua
orang tengah bersiap turun.
“Mbak, saya duluan ya, seneng bisa
ngobrol sama mbak. Saya Ryan Mbak.” Pamitnya
buru-buru.
“Eh Mas, tunggu! Tunggu Mas!” Percuma saja, sebab ia terlihat
berjalan cepat ke arah pintu keluar stasiun. Aku hanya bisa menatap punggungnya
yang semakin menjauh.
“Satu … dua … tiga …” Aku menghitung dalam hati. Dan
tepat di hitungan ke tiga, lelaki itu tiba-tiba menoleh dan melemparkan senyum
kepadaku. Sungguh, seperti adegan-adegan FTV saja. Hehe. Benarkah ia
jodohku? Tapi di mana alamatnya? Aku tak tahu apapun tentangnya, selain
namanya. Bahkan dia tak tahu namaku. Namun, jika memang benar berjodoh, pasti
kami akan bertemu lagi. Semangadh!
***
Pagi
ini, kembaliku langkahkan kaki menuju stasiun Sudirman. Perjalanan tiga hari
lalu menuju Bogor akan terulang kembali, kali ini untuk menghadiri pernikahan
sahabatku Liza. Sahabat dunia akhirat yang selalu ada dalam suka dan duka. Dia
yang dulu menyadarkanku, tentang visi misi hidup yang sesungguhnya. Darinya aku
tahu, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, maka harus dilalui dengan
sebaik-baiknya untuk mengumpulkan bekal menuju tempat kekal nanti.
Aku
beruntung, karena bisa nyaman duduk sejak awal naik CL ini.
Hatiku tiba-tiba berharap sosoknya kembali muncul di gerbong ini, sosok lelaki
dalam Ratangga yang ternyata bernama Ryan. Namun sampai turun di stasiun Bogor,
sosoknya tidak ku temui. Lagi pula, mana ada sebuah kebetulan yang berkali-kali
terjadi di dunia nyata ini. Kalau itu terjadi, pasti itu hanya cerita dalam
sinetron. Hehe.
Susana
rumah Liza terlihat meriah, halaman rumahnya kini telah disulap begitu apik dan
cantik. Bunga Krisan warna warni tertata mempesona di setiap sudut halaman dan
pelaminan. Aku jadi membayangkan konsep seperti apa untuk pelaminanku kelak.
Tamu-tamu semakin banyak berdatangan, karena sebentar lagi memang akad akan
dimulai.
“Mana calon suamimu Za?” Tanyaku.
“Dia nginep di rumah tanteku di belakang
rumah ini Ai.” Jawab
Liza.
Mempelai
pria, para wali, para saksi dan Bapak Penghulu telah bersiap di singgasana akad
di depan pelaminan. Sementara aku mendampingi Liza duduk di ruang tamu ini
beserta beberapa kerabatnya. Ayah Liza mengucapkan kalimat Ijab kepada
mempelai pria dengan begitu lancar. Mempelai priapun mengucapkan kalimat Qobul dengan
lancar dan lantang. Setelah semua prosesi akad selesai, Liza diminta keluar
menemui suaminya.
“Ai, anterin aku keluar dong” Pinta Liza.
“Ish … ish … manja bener, udah punya
suami juga” Aku
pura-pura menolak.
Akhirnya aku
mendampingi Liza keluar dengan hati sedikit grogi. Sebab semua mata pasti
sekarang tertuju ke arahku, ke arah Liza tepatnya. Mempelai pria terlihat
berjalan mendekat ke arah kami. Ia terlihat mengenakan kemeja lengan panjang
berwarna putih dan jas hitam, senada dengan gaun pengantin Liza yang juga
berwarna putih. Rangkaian melati mengalungi leher mempelai pria itu. Senyum
manis yang menghiasi wajahnya, menjadikan ia semakin memancarkan aura. Senyum
itu. Aku belum selesai mencerna semua yang telah terjadi, saat Liza tiba-tiba
mengenalkan suaminya.
“Ai, kenalin ini suamiku, Mas Ryan
Hermawan. Mas, kenalin juga, ini sahabatku Aida”
Saat mata kami saling beradu, terlihat
ada kekagetan dalam raut wajahnya, begitupun aku. Mendadak tubuh ini hanya bisa
terpaku, bibir menjadi kelu, saat melihat dengan jelas sosok suami Liza. Sosok
lelaki berkacamata, pemilik senyum seindah syurga, sosok lelaki di dalam
kereta, yang diam-diam kuharapkan agar aku berjodoh dengannya.
***
Keterangan Catatan Kaki:
1)Ratangga adalah nama baru kereta MRT (Moda Raya Terpadu)
yang diberikan oleh Gubernur DKI, Anies Baswedan pada tanggal 10 Desember 2018.
2)Commuter line (CL) adalah Kereta Rel Listrik
(KRL) yang dulu dikenal sebagai KRL Jabodetabek.
***
(Kampung Gagot, 4 Oktober 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar