PENGAGUM
RAHASIA SANG USTADZ
(By:
Novi Darmayanti)
Namanya Ustadz El. Aku
mengagumi Ustadz itu sejak dua tahun lalu. Mengaguminya dalam diam, dalam sepi,
dalam kesendirian, tanpa seorangpun tau. Ya, aku memang merahasiakan rasa kagum
ini dari dulu, saat ini dan mungkin sampai nanti. Mungkin juga rasa ini akan
selalu tersimpan rapi di laci terdalam hatiku, selamanya.
Flashback Dua Tahun Lalu
“Fa,
dateng yuk di kajian Halal Bi Halal, Ahad pagi besok….”
Ani, sahabatku mengajak.
“Males
ah, palingan Ustadznya gitu-gitu aja.” Aku enggan.
“Ini
beda Fa, Ustadznya katanya masih muda, cerdas dan lulusan Al Azhar Kairo
Mesir.” Ani masih berusaha membujukku.
Akhirnya aku mengiyakan untuk hadir,
daripada harus berdebat lebih panjang lagi dengan sahabatku itu.
Hari
itu tiba. Aku menyaksikan Sang Ustadz betul-betul sukses menghipnotis jama’ah dengan isi ceramahnya. Bahasa yang
digunakannya, intonasi suaranya, isi topik ceramahnya, gerak tubuhnya, setelah
mimik wajahnya, semua berpadu begitu harmonis. Sungguh aku terpesona padanya,
dalam pandangan pertama. Ani memang benar, Ustadz ini cerdas, bijak,
berkharisma dan mempesona. Sempurna.
Dua
bulan kemudian setelah kajian, saya mencoba mengirim pesan WhatsApp pada Sang Ustadz. Jangan tanya bagaimana perjuanganku
mendapatkan nomor handphone nya, yang
pasti panjang ceritanya.
[Assalamu’alaikum
Ustadz, saya salah satu jamaah Ustadz yang kemarin hadir di kajian Halal Bi
Halal. Maaf, mau nanya Tadz, kemarin kan Ustadz memaparkan karakter generasi
Ribbiyyun dalam Surat Ali Imron. Kalau misalkan mau ngasih nama bayi perempuan
dengan karakter Ribbiyyun itu, kata apa yang pas ya Tadz?].
Hati ini mendadak berdebar, saat pesan
itu telah terkirim. Dan bertambah lagi debarannya, saat tanda centang dua itu berubah
menjadi biru dan terlihat Sang Ustadz tengah mengetik balasan.
[Wa’alaikumsalam,
Ribbiya atau Ribbiyah]. Balasnya.
Kenapa aku begitu bahagia, padahal hanya
dibalas singkat dan padat begitu? Ah pasti ada sesuatu dengan hati ini.
Hari
demi hari terlewati, perlahan rasa kagum pada Sang Ustadz tumbuh bersemi,
bahkan semakin subur berseri. Setiap aku mendengar Sang Ustadz ada jadwal
mengisi kajian, aku menjadi jama’ah yang paling rajin datang dan duduk paling
depan. Aku pun menjadi lumayan sering mengirim pesan WA kepada Sang Ustadz, bertanya
tentang berbagai topik kajian. Seperti biasa, Ustadz hanya membalas singkat dan
padat, bahkan sering tak membalas. Kadang sedih dan kecewa, tapi aku bisa apa?
Sepenuhnya itu hak Ustadz. Sebenarnya pernah terlintas di pikiran, bahwa aku
akan memperkenalkan diri secara langsung dan
berterus terang bahwa akulah orang yang selama ini kerap berkirim pesan
padanya. Namun, tiap kali kesempatan itu ada, raga ini seolah membeku, aku hanya
bisa terpaku, tanpa berani mendekat apalagi menyapa. Rasa keberanian dan
percaya diri yang selama ini tersemat dalam sifatku, mendadak sirna. Maka,
biarlah aku tetap menjadi pengagum rahasianya.
***
Dua
tahun telah berlalu. Rasa itu tetap ada, tak pernah berkurang apalagi hilang.
Aku masih mengagumi Ustadz El. Kagum?
Tunggu dulu…apakah ini hanya sekedar kagum?. Jika hati dan pikiran ini selalu
dipenuhi namanya, ada binar bahagia saat berjumpa, selalu mengingatnya, bahkan
beberapa kali sosoknya hadir dalam mimpi tidurku, apakah benar ini sekedar
kagum? Namun…biarlah aku tetap menyebutnya begitu, sebab aku tak berani menamai
rasa itu dengan sesuatu yang lebih dari sekedar kagum.
Dua tahun telah berlalu
dan aku masih sering mengiriminya pesan. Tak ada yang berubah dengan isi dan
bahasa pesanku, hanya seputar pertanyaan topik kajian. Begitu pula dengan
balasannya, tak ada yang berubah, Ustadz masih membalas dengan singkat dan
sering pula hanya membaca pesanku tanpa membalasnya. Kecewakah? Tentu. Tapi aku
sudah cukup bahagia dengan begini dan aku tak tau sampai kapan akan begini.
Hingga suatu hari, aku
melihat seseakun dengan nama dan foto Ustadz di sebuah laman media sosial.
Tanpa pikir panjang, aku segera meminta pertemanan dengannya. Ternyata tak
butuh waktu lama, Ustadz telah mengkonfirmasinya. Akhirnya ku kirimkan pesan WA
kepadanya untuk mengucapkan terimakasih, karena ia telah mengkonfirmasi
permintaan pertemanan dariku. Ia pun membalas, walau singkat seperti biasa. Ahh
bahagia rasanya hati ini.
Hari-hariku kini bertambah
satu kesibukannya. Sibuk memantau dan menunggu status
Ustadz El di medsos. Biarlah seperti orang yang kurang kerjaan, tapi aku
bahagia. Dan jujur aku bertambah ilmu setelah membaca status-statusnya.
Statusnya selalu bagus, berbobot, penuh ilmu dan nasihat, rangkaian katanya
juga bagus, enak dibaca dan mudah dipahami. Sungguh aku semakin mengaguminya.
“Jadi,
waqfah itu apa Tadz?.” Aku mengirim pesan kepadanya,
sesaat setelah Ustadz El mengirim status dengan judul “Nikmatnya Waqfah”.
Pesanku kali ini beda, tanpa awalan salam dan tanpa panjang lebar. To the point, karena jujur aku penasaran
dengan arti kata waqfah.
“Waqfah
itu berhenti sejenak, setelah padatnya aktivitas. Tujuannya untuk merelaksasi
jasmani, ruhani dan pikiran.” Jelasnya.
“Apa
bisa diartikan jeda.” Tanyaku lagi.
“Ya,
bisa berarti demikian.” Balasnya lagi.
Begitulah
aku dan Ustadz El. Aku sering bertanya dan ia menjawabnya. Eh tunggu… sejak
kapan ia selalu menjawab pesan-pesanku? Aku baru sadar, sekarang ia tak pernah
lagi membiarkan pesan-pesanku begitu saja. Ya...ia selalu menanggapi pesanku. Akhirnya…aku
benar-benar bahagia, sebab merasa ia perlahan perhatian juga kepadaku.
Benarkah? Atau hanya aku yang ke-GR-an? Ah biarlah jika hati ini telah salah
menafsirkanan, yang penting aku bahagia. Bahagia itu pun makin bergelora. Dan tak terasa, diri ini tanpa sadar
senyum-senyum sendiri.
***
“MasyaAllah…status
Ustadz hari ini bagus dan ngena banget ke hati.”
Pesan WA ku padanya. Hari ini, Ustadz El mengulas tentang rahasia khusyu dalam
beribadah.
“Alhamdulillah,
jika tulisan itu bermanfaat. Saya masih latihan menulis Mbak, J.”
Balasnya merendah. Eh tunggu, ia menambahkah emot senyum di belakang pesannya.
Hal yang selama ini tak pernah dilakukannya.
“Ustadz
terlalu merendah.” Balasku lagi.
“Benar
Mbak, saya memang masih harus banyak belajar.”
Ia tetap merendah.
Jadi, apakah sekarang ia telah merasa
nyaman ngobrol denganku? Ah kenapa hati ini mendadak deg-degan begini. Debar
ini makin menjadi, saat obrolan berlangsung agak lama. Namun aku tau, bisa
jadi, debar ini hanya di sini, tidak di sana. Rasa ini hanya di hatiku, tidak
di hatinya.
Sepekan
lebih, aku tak menjumpai statusnya. Apakah ia sibuk? Atau ia sakit? Kenapa jadi
aku yang sibuk bertanya begini? Rindukah? Kenapa hati ini jadi gelisah dan
khawatir jika sesuatu telah terjadi padanya? Namun tak lama kemudian, tiba-tiba
statusnya muncul di beranda lamanku. Tumben, kali ini statusnya beda. Biasanya
statusnya hanya seputar ibadah. Namun kali ini tentang cinta. Ia menjabarkan
tentang anugerah cinta. Cinta bisa menjadi anugerah dan bisa menjadi musibah. Setelah
membaca ulasannya tentang cinta itu, kenapa aku merasa tertampar. Tapi,
bukankah rasa ini hanya kagum semata? Ini bukan cinta kan? Mendadak hatiku ragu
untuk mendefinisikan rasa apa yang sebenarnya bersemayam di hati ini.
“Ustadz,
apa hukumnya kalau ada perempuan yang mengagumi laki-laki secara diam-diam?.”
Pesanku begitu saja meluncur.
“Kagum
aja boleh.” Jawabnya.
“Kalau
lebih dari sekedar kagum, bolehkah Tadz?.” Tanyaku lagi.
“Kenapa
diam-diam? Ungkapkan saja dengan cara yang baik, siapa tau berjodoh.”
Jawabnya lagi.
“Tapi
perempuan itu sadar bahwa ia tak mungkin mengungkapkan rasa kagumnya. Itu kagum
yang terlarang Tadz.,” Jelasku lagi.
“Perempuan
yang hebat. Titip salam saya sama perempuan itu ya Mbak Syifa.” Setelah
membalas itu, Ustadz El sudah tak terlihat lagi sedang online.
Apa maksud kata-kata Ustadz? Kenapa ia
bilang perempuan itu hebat? Apakah ia tau bahwa perempuan itu aku sendiri? Apakah
itu berarti ia juga punya empati terhadapku? Atau bahkan punya rasa yang sama
sepertiku? Lalu dari mana ia tau namaku? Selama ini aku tak pernah menuliskan
nama asliku, tak pernah memasang foto tampak wajah, baik di akun medsos maupun
di profil WA ku. Berbagai tanya dan rasa penasaran membuat kepalaku terasa berat,
aku perlu istirahat.
***
“Rabb,
aku tau rasa ini bukan rasa yang benar. Aku tau Engkau tak akan ridho dengan
rasa ini ya Rabb. Lapangkan hatiku untuk mengikhlaskan segala rasa yang telah
bersemayam di hati ini. Aku tau,
Engkaulah yang Maha membolak-balikkan hati. Kini, ku serahkan semua rasa ini
kepada-Mu.”
Hati
ini menjadi lebih lega, setelah aku mengadu kepada-Nya di sepertiga malam ini.
Sajadah basah ini pun telah menjadi saksi, akan air mata yang menumpahinya
selama beberapa malam ini. Mata ini masih basah, hati ini pun masih membuncah,
saat tiba-tiba terdengar suara panggilan dari kamar depan. Rupanya putriku,
Ribbiyya, mengigau memanggil nama Uminya dengan suara cadelnya. Tergopoh aku
menghampirinya. Di sampingnya terlihat suamiku tengah terlelap dalam kedamaian.
“Maafkan
aku suamiku, akan hadirnya rasa tak semestinya pada sosok selainmu. Maaf…”
Perlahan kubaringkan tubuh ini, sambil
mengingat kembali perkataan seorang Ustadzah beberapa waktu lalu:
“Cinta
itu mendamaikan,
Cinta
itu menenangkan,
Cinta
sejati akan mengantarkan pada keridhoan,
Cinta
sejati hanya ada dua pilihan: Halalkan atau Ikhlaskan!
***
(Kampung Gagot, 25092019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar