“Kami poetra dan poetri Indonesia,
mendjoendjoeng tinggi bahasa persatuan,
bahasa Indonesia”
Itulah
salah satu rumusan sumpah para pemuda-pemudi Indonesia pada Kongres Pemuda II,
28 Oktober 1928 di Jakarta. Ternyata, 86 tahun silam gelegak untuk menjunjung
tinggi bahasa persatuan sudah sedemikian menggelora di kalangan muda-mudi kita.
Ikrar
tersebut telah menginspirasi pemerintah dan rakyat Indonesia, terutama setelah
Indonesia merdeka untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu
bangsa. Hal ini termaktub dalam UUD 1945 Bab XV Pasal 36 yang berbunyi “Bahasa
negara ialah bahasa Indonesia”. Juga dipertegas lagi dalam Undang-Undang RI
Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan.
Selanjutnya,
bahasa Indonesia – yang berasal dari bahasa Melayu Riau – dipergunakan dalam
komunikasi antar etnis yang
berbeda bahasa, bahasa pengantar di sekolah, bahasa media massa, percakapan di
kantor, naskah untuk pidato, dan sebagainya.
Pada
perkembangannya kini, bahasa Indonesia tidak hanya digunakan pada waktu,
tempat, dan konteks tertentu saja. Bahasa Indonesia telah digunakan dalam
percakapan sehari-hari secara informal di rumah, menggantikan bahasa ibu
(bahasa daerah). Tidak sedikit keluarga baru yang enggan menggunakan bahasa
daerah lagi dalam komunikasi antar anggota keluarga. Hal ini terjadi tidak hanya di
kota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke desa-desa.
Lantas,
bagaimana nasib bahasa lokal ke depannya? Apakah bahasa daerah akan semakin
ditinggalkan oleh warga daerah, atau bahkan suatu saat nanti bahasa daerah akan
lenyap?
Memperkaya
Bahasa Nasional
Perlu
disadari terlebih dahulu bahwa yang disebut nasional adalah kumpulan dari
lokal-lokal. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga merupakan gabungan
dari bahasa-bahasa daerah. Adanya bahasa lokal justru memperkaya bahasa
nasional.
Hal di atas
terbukti, banyak kata atau istilah dari bahasa daerah yang kemudian diserap dan
diakui sebagai bahasa nasional. Bahkan, beberapa kata atau istilah bahasa
daerah sengaja diangkat (dipakai) untuk mengembangkan bahasa Indonesia. Pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat kita temukan kata atau istilah yang
diberi tanda tertentu, yang menerangkan bahwa kata atau istilah tersebut
berasal dari bahasa daerah tertentu, misal Jw (Jawa), Sd (Sunda), Trj (Toraja),
Bt (Batak), BgM (Bugis Makassar), dll.
Sebagai
suku terbesar di Indonesia, pengaruh bahasa Jawa terhadap bahasa nasional cukup
besar dibanding dengan suku-suku lain di Indonesia. Selain itu, komunitas Jawa
menempati hampir seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Ditambah pula ibukota
NKRI berada di Pulau Jawa.
Sekalipun
demikian, di sisi lain, penggunaan bahasa Indonesia sedikit-banyak mempengaruhi
eksistensi bahasa daerah, termasuk di dalamnya bahasa Jawa. Tidak sedikit kata
atau istilah bahasa Indonesia yang dimasukkan ke dalam bahasa Jawa dengan berbagai
alasan, seperti kata atau istilah tersebut dianggap kuno dan tidak cocok lagi
digunakan, tidak ada padanannya dalam bahasa Jawa, kebiasaan menggunakan bahasa
gado-gado (campur-aduk), dan alasan lainnya.
Ditambah
lagi berbagai fenomena menarik lainnya, seperti orang yang lahir dan besar di daerah
Jawa tapi tak bisa berbahasa Jawa, tak percaya diri/tak berani memakai bahasa
Jawa ketika diminta berbicara di depan publik Jawa, atau tak bisa lagi
berbahasa Jawa halus (krama inggil). Bahkan yang lebih mengkhawatirkan
adalah akhir-akhir ini banyak pasangan muda Jawa yang tak lagi mengajarkan
anak-anaknya bahasa Jawa walau tinggal di pedesaaan.
Keadaan
tersebut diperparah lagi dengan kurikulum pendidikan yang kurang berpihak pada
budaya lokal. Bahasa daerah tak lagi diajarkan secara wajib di sekolah menengah hingga perguruan
tinggi. Bahasa daerah hanya diajarkan di sekolah dasar, itupun hanya sebatas
kulit luarnya saja, seperti mengenal huruf Jawa, istilah pewayangan, nama anak
hewan, nama bunga, dan lainnya yang bersifat pengetahuan umum.
Di luar
dunia pendidikan, para orang tua tidak secara khusus mengajarkan kepada anak bagaimana
berbahasa Jawa yang baik dan benar. Orang tua hanya sekedar mengajarkannya
sebagai bahasa lisan dan percakapan sehari-hari, ditambah sedikit bahasa krama
(inggil) untuk berkomunikasi dengan orang tua atau yang lebih tua.
Demikian halnya
dengan anggota masyarakat pada umumnya, langka sekali yang masih memiliki
perhatian khusus terhadap pengembangan dan pelestarian bahasa Jawa. Sekalipun
ada yang membuka semacam sanggar, taman bahasa, atau kursus bahasa Jawa;
peminatnya kecil sekali, walau biasanya kegiatan itu tanpa dipungut biaya.
Hakikat Identitas
Nasional
Bahasa
Indonesia telah menjadi identitas nasional bangsa kita. Bahasa Indonesia yang
terus tumbuh dan berkembang, diharapkan tetap memelihara dan menjunjung tinggi
bahasa-bahasa lokal. Antara bahasa lokal dengan bahasa nasional haruslah
terjadi simbiosis mutualisme, saling memperkaya, dan saling menguatkan.
Bukan malah
sebaliknya, bahasa nasional menghambat pertumbuhan bahasa lokal, atau bahkan
mematikannya. Agar bahasa Indonesia menjadi bahasa yang tinggi dan bermartabat,
maka sudah sepatutnyalah membimbing bahasa daerah untuk maju dan tumbuh
bersama. Karena pada hakikatnya bahasa nasional merupakan kumpulan dari bahasa
lokal. Tidak akan ada nasional bila tidak ada lokal-lokal. Eksistensi bahasa
nasional ditopang oleh eksistensi bahasa lokal. Bahasa nasional tanpa bahasa
lokal adalah identitas “semu”, karena masing-masing etnis atau kultur telah
kehilangan jatidirinya, telah kehilangan asal-usulnya. (Jacob Sumardjo, Mencari
Sukma Indonesia, 2003).
Masalah
eksistensi bahasa lokal yang kian mengkhawatirkan belum juga usai, bersamaan
dengan itu kita juga dihadapkan pada masalah perjalanan bangsa menuju identitas
nasional. Belum juga kita dapat berbahasa secara baik dan benar, akibat
pengaruh urbanisasi maupun media massa (elektronik), ada kecenderungan berbahasa
Indonesia dialek Betawi (Jakartasentris). Bahasa tidak baku tersebut malah
dipergunakan secara luas, tidak hanya dalam percakapan sehari-sehari tapi juga
pada forum-forum resmi.
Masalah
lainnya adalah membanjirnya kata atau istilah dari bahasa asing (terutama
Inggris) yang “menyerang” kaidah dan tatanan bahasa Indonesia. Di satu sisi,
bahasa global bisa memperkaya bahasa nasional; tapi di sisi lain bisa
melemahkan dan merusak. Banyaknya pemakaian kata atau istilah asing dalam
khasanah bahasa Indonesia telah menggusur kata-kata asli Indonesia. Pada
tingkatan yang parah, terkadang kita tak ingat lagi apa istilah dalam bahasa
Indonesia untuk istilah tertentu dari bahasa asing.
Penutup
Menjadi
tugas dan kewajiban setiap warga negara Indonesia yang cinta tanah air untuk
senantiasa menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan agar
tetap bermartabat baik di mata bangsa sendiri maupun di mata bangsa lain;
bersamaan dengan itu juga menjaga dan
memelihara bahasa daerah untuk tumbuh dan maju bersama bahasa Indonesia dalam
rangka memperkuat jatidiri dan identitas nasional kita.
Jangan
sampai kita menjadi bangsa yang belum juga bisa berbahasa nasional secara baik
dan benar, tergoda oleh “kehebatan” bahasa asing yang belum tentu baik dan konstruktif,
sekaligus kita terancam kehilangan bahasa ibu (daerah) yang merupakan warisan
tak ternilai dari para leluhur kita.
Tulisan ini
akan saya tutup dengan seloroh seorang tokoh terkenal, “Mungkin saja suatu saat
nanti, orang Jawa atau orang Indonesia yang ingin belajar bahasa Jawa, harus
datang ke negeri Belanda”.
Penulis Trimanto tinggal di Boyolali. Pemerhati Bahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar